Wednesday, May 8, 2019

MATIUS 6:19-24


MENGUMPULKAN HARTA DI SORGA
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
12 Mei 2019

P E N D A H U L U A N
Bagian yang kita baca dan renungkan ini merupakan ucapan Yesus di atas bukit yang biasa dikenal dengan Khotbah di Bukit. Injil Matius mendokumentasikan isi Khotbah ini ke dalam 3 pasal yakni pasal 5-7 dengan berbagai tema khotbah. Salah satunya mengenai “harta” dan bagaimana mengumpulkannya.  

Harta adalah topik menarik untuk dibahas oleh siapapun sebab harta adalah hal yang paling dicari dan diingini oleh siapapun. Namun, ketika membaca teks ini, kita mendapat kesan bahwa memiliki harta dan atau menjadi kaya di bumi dilarang oleh Tuhan Yesus. Menjadi kaya adalah hal tabu bagi orang Kristen. Benarkah demikian? Perikop ini perlu digali secara dalam untuk mendapatkan pemahaman yang tepat.


EXEGESE TEKS (Uraian Perikop)
Benarkah Tuhan Yesus melarang untuk mengumpulkan atau menumpuk harta di bumi? Mari perhatikan dengan saksama bacaan kita saat ini. Beberapa hal penting perlu dijelaskan.
1.      Harta apa yang dimaksud
Kesan pertama ketika membaca teks ini adalah bahwa Yesus sedang berbicara tentang kekayaan atau harta benda sebagai fokus utama. Pemahaman ini tidak sepenuhnya keliru sebab memang Tuhan Yesus berbicara tentang mengumpulkan harta. Namun jika kita membaca perikop sebelumnya, yang juga adalah rangkaian khotbah di bukit, maka menjadi jelas bahwa bagian ini tidak terpisahkan dengan perikop hal berpuasa. Bagian ini menjadi terpisah karena “dipisahkan” oleh Lembaga ALkitab untuk kepentingan pemilahan topik.

Perhatikanlah bahwa ketika berbicara tentang puasa, Tuhan Yesus menyinggung soal “mendapat upah” dari berpuasa (ay.16). Upah atau μισθός (misthos) dalam bahasa Yunani berarti sesuatu yang diperoleh sebagai bayaran dari kerja yang dilakukan. Menariknya tentang “upah” ini terletak pada pemahaman orang Yahudi terutama golongan Farisi bahwa “kekayaan atau harta benda merupakan upah karena melakukan hukum Taurat”[1]. Sehingga menurut kebanyakan orang, melakukan suatu kebaikan dan kebenaran menurut hukum agama adalah memperoleh harta kekayaan yang bertumpuk. Dengan kata lain, fokus mereka tentang harta adalah yang bersifat duniawi bukan yang bersifat rohani.

Sebagai pebanding, sialakan perhatian topik Hal Berdoa pada ayat 5 dan 6. Bahwa setiap orang yang berdoa akan mendapat upah (ay.5), namun yang berdoa dengan benar maka memperoleh: “Bapamu… akan membalasnya kepadamu” (ay.6). Istilah membalasnya (give back) dari bahasa Yunani ἀποδώσει (apodosei) yang berarti “membayar dengan nilai yang sama atau setimpal”. Apa yang dibayar setimpal itu? Tentunya sesuatu yang diberi kepada Allah. Apa itu? Jawabnya Doa. Apa itu doa? Dari kata προσεύχῃ (proseuchomai) yang berarti membawa kehadapan Allah. Apakah yang dibawah kehadapan Allah ketika berdoa? Tentunya membawa diri kita menjumpai Allah. Maka mereka yang memberi diri untuk menjumpai Allah akan dibalas secara setimpal oleh Allah. Apakah itu? Allah akan membawa dirinya menjumpai kita (alias membalas secara setimpal). Dengan demikian kita menyimpulkan bahwa upah yang dimaksud bukan hanya hal bendawi melainkan (dalam konteks Khotbah di bukit) sesuatu yang sangat rohani dan spiritual. Harta yang dimaksud adalah harta rohani dan bukan harta bendawi. Itulah yang menjadi fokus Yesus pada bacaan kita ketika ia berbicara tentang cara menyimpan harta.

2.      Apakah dilarang mengumpulkan harta kekayaan? (ay.19-21)
Pertanyaan ini muncul karena kesan yang diperoleh ketika membaca ayat 19 dan 20 ini adalah “Tuhan Yesus melarang menumpuk harta kekayaan atau menjadi kaya:. Benarkah demikian? Kesan semacam ini jelas keliru. Alkitab tidak pernah melarang kepemilikan harta. Perintah ke-10 yang menyebut “Jangan mengingini harta milik sesamamu” bertujuan untuk melindungi harta pribadi masing-masing orang. Nasihat untuk belajar kepada semut yang menyiapkan perbekalan di saat susah (Ams 6:6-8; 30:25) menyiratkan bahwa kerja keras, tabungan, dan asuransi pada dirinya sendiri tidaklah salah. Allah tidak anti terhadap kekayaan. Dengan kata lain, teks ini tidak berbicara tentang larangan menjadi kaya atau menyimpan harta kekayaan.

Tiga ayat pertama pada perikop ini justru berbicara tentang ketamakan dan bukan tentang larangan menjadi kaya. Ada satu kata yang LALAI diterjemahkan oleh LAI yang justru sangat penting artinya, yakni:
(LAI Terj. Baru)     Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi
(Mat 6:19 BGT)     Μὴ θησαυρίζετε ὑμῖν θησαυροὺς ἐπὶ τῆς γῆς,
(Terj perkata)         Me (janganlah) thesaurizete (kamu mengumpulkan)
                              Humin (bagimu sendiri) thesaurous (harta) epi (di)
                              tes ges (bumi)

Kata yang hilang di terjemahan LAI adalah ὑμῖν (humin) yang berarti bagi dirimu sendiri. Sehingga secara sederhana, maka larangan pada ayat 19 adalah: “Dilarang mengumpulkan harta hanya untuk kepentingan diri sendiri”. Jika diperlebar lagi maknanya maka kita menemukan hal positif yakni, kumpulkan harta dengan tujuan bukan hanya bagi diri sendiri melainkan juga untuk orang lain dan terutama untuk Kerajaan Sorga (upah rohani, harta rohani).

Mengapa larangan itu menjadi penting? Sebab jika kekayaan itu dikumpulkan hanya untuk diri sendiri, otomatis fokus diri ada pada harta dan bukan pada sesama termasuk bukan pada Tuhan dan kerajaan Sorga. Dampaknya adalah hati kita hanya tertuju pada harta benda dan bukan pada Allah sebagai sumber dari harta dan kekayaan tersebut. Tidak heran jika dengan tegas, Tuhan Yesus berkata: “di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (ayat 21).


3.      Jangan salah fokus (ay.22-23)
Tuhan Yesus menggunakan metafora “mata” ketika berbicara tentang harta. Ia berkata:mata adalah pelita tubuh”. Mata memiliki fungsi untuk melihat atau memandang. Metafora ini menunjuk pada bagaimana melihat harta itu. Jika maata adalah pelita tubuh itu padam, otomatis fokusnya hanya pada harta duniawi demi kepentingan diri sendiri  dan akibatnya adalah kesia-siaan atau kegelapan.

Tidak salah menjadi kaya atau memperoleh banyak harta. Tapi harusnya jangan salah fokus. Mata kita termasuk hati tidak terfokus pada harta duniawi sebab ngengat akan merusaknya. Justru Tuhan Yesus mengajak untuk fokus pada harta sorgawi, yakni kehidupan kekal yang dijanjikan. Jika harta duniawi menjadi fokus, maka semua cara termasuk kejahatan dan ketidak-adilan akan dilakukan demi karta kekayaan. Jika fokusnya adalah kepada Allah dan KerajaanNya, yakni harta sorgawi, maka tindakan kebenaran, keadilan, ketulusan bahkan kepedulian menjadi fokus “mata” kita. karenanya kita perlu memberi tanda awas agar tidak salah fokus.

4.      Jebakan harta (ay.24)
Bagian terakhir dari bacaan kita akhirnya menjadi jelas, tentang apa fokus pengajaran Yesus mengenai harta. Harta yang dimaksud adalah harta rohani, yakni Allah sendiri. Lawan dari harta rohani adalah harta bendawi yg jadi fokus utama sehingga berubah menjadi dewa atau ilah untuk disembah. Mengapa disembah? Karena terfokus padanya dan tergantung padanya. Pilihannya ada dua dan hanya satu yang bisa dipilih yakni Allah atau mamon.  

Allah adalah pemilik tunggal kehidupan kita. Ia yang menciptakan kita. Ia yang menebus kita dari dosa-dosa kita. Seluruh hidup kita – tenaga, fokus, hati, dan waktu – harus ditujukan pada Allah saja dan bukan pada harta. Apa yang kita pikirkan setiap hari adalah bagaimana menyenangkan hati tuan kita dsan bukan bagaimana menjadi berharta banyak. Nilai hidup kita ditentukan oleh seberapa besar pemgabdian kita pada Allah dan bukan kepada harta. Jika harta menajdi fokus kita, hati-hati kita telah memasuk wilayah “JEBAKAN HARTA” yaitu menjadi penyembah MAMON dan bukan Allah.



APLIKASI DAN RELEFANSI




[1] Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003), hlm. 76