Wednesday, February 13, 2019

HAKIM-HAKIM 6:11-24


BERSEDIAKAH ANDA DI UTUS TUHAN?
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Rumah Tangga
Rabu, 20 FEBRUARI 2019


A. PENGANTAR
Seorang Hakim adalah pemimpin dari satu-dua suku pada masa perang melawan bangsa-bangsa musuh orang-orang Israel. Kewibawaannya tergantung kepada kharisma-nya, jadi tidak dihubungkan dengan suatu dinasti. Penduduk asli (Kanaan) mempunyai kebudayaan yang lebih tinggi. Suku-suku Israel sering diperbudak dan ditindas. Tidak mengherankan bahwa orang-orang Israel tertarik oleh agama penduduk asli. Sebab agama mereka sendiri, agama nenek moyang dan Musa, sederhana sekali dan cocok dengan keadaan suku-suku di gurun. Akibatnya ialah: suku-suku Israel mudah saja mencampurkan agama nenek-moyangnya dengan agama penduduk negeri Palestina yang memuja dewa-dewi.

Pada zaman yang dikisahkan dalam Kitab Hakim-Hakim, keadaan orang Israel kacau-balau. Suku-suku dan kelompok-kelompok Israel baru saja memasuki tanah pertanian dan mulai menetap, kerap di samping penduduk asli. Tidak ada pemimpin atau pemerintah pusat. Masing-masing suku dan kelompok mencari jalannya dan berjuang sendiri. Suku-suku sederhana itu kerap tidak dapat mempertahankan diri terhadap penduduk asli yang menyerbu.


B. PENJELASAN NATS
Dalam kisah pada bacaan kita, orang Midian merupakan kelompok penindas dan perampok yang keji. Banyak orang Israel yang menjadi terlunta-lunta karena perampasan tersebut. Mereka hidup penuh dengan penderitaan dan kemelaratan, justru di tanah mereka sendiri.

Itulah sebabnya pada ayat.7 umat Israel berseru kepada Raja mereka, yakni TUHAN (Yahwe) Allah Israel karena kekejaman orang-orang Midian itu. Jawaban TUHAN, dinyatakan melalui kehadiran malaikat TUHAN di rumah Gideon. Waktu itu Gideon sedang menggirik gandum di tempat pemerasan anggur (ay.11). Ini tempat yang tidak lazim. Mengapa? Biasanya pengirikan gandum di lakukan di tempat yang ketinggian dan terbuka, di mana angin bertiup. Dengan itu sekam gandum dengan mudah terpisah dari biji gandumnya. Tetapi kalau ini yang dilakukan Gideon, maka ia akan mudah kelihatan oleh para perampas/perampok “sembako”. Karena itu, Gideon mengirik gandum di tempat pemerasan anggur, yang memang berada di tempat tertutup.

Inti percakapan TUHAN melalui malaikatNya dengan Gideon adalah mengutus Gideon untuk menghalau musuh-musuh Israel (ay. 14-15). Namun sebelumnya terjadi dialog yang menarik antara TUHAN dengan Gideon di awal pengutusan tersebut. Mari kita lihat isi dialog yang demikian hidup itu:
TUHAN      : (berbicara pada Gideon) “TUHAN menyertai engkau, yah pahlawan yang gagah berani”
GIDEON     : (Gideon menjawab) “Ah, tuanku, jika TUHAN menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami? Di manakah segala perbuatan-perbuatan-yang ajaib yang diceritakan oleh nenek moyang kami kepada kami, ketika mereka berkata: Bukankah TUHAN telah menuntun kita keluar dari Mesir? Tetapi sekarang TUHAN membuang kami dan menyerahkan kami ke dalam cengkeraman orang Midian.”

Sekarang menjadi jelas… suara Gideon mewakili suara umat Israel kebanyakan waktu itu, yakni mereka berdiri DI ATAS KEBENARAN SENDIRI dan menjadi Hakim bagi TUHAN. Mereka menggugat janji TUHAN yang tidak ditepati; mereka mempertanyakan KUASA TUHAN yang tidak menjangkau mereka; dan lebih parah lagi mereka mempertanyakan KESETIAAN TUHAN atas umatNya.

Sayang sekali, baik Gideon maupun umat TUHAN tidak mengoresi diri mereka. Semua yang terjadi dan ditimpakan kepada mereka justru karena kedurhakaan mereka kepada TUHAN Allah mereka yang telah setia dan memelihara mereka. Ternyata lebih mudah bagi umat TUHAN menyoroti Allah mereka dari pada diri mereka sendiri. Lebih mudah untuk mencari kesalahan pihak lain dari pada menemukan kedurhakaan sendiri.

Setelah dialog itu terjadi, maka sekarang TUHAN masuk ke tahap yang lebih tinggi, yakni PENGUTUSAN. Gideon diutus TUHAN untuk melepaskan Israel dari cengkraman orang Midian. Dan lagi-lagi, Gideon menjawab dengan berbagai alasan ketidak-sediaannya untuk panggilan itu. Menurutnya ia berasal dari suku dan kaum terkecil, dan kemudian dari segi pengalaman dan usia iapun masih muda.

Bukankah alasan-alasan seperti ini amat sering muncul dan dipakai dari dulu hingga sekarang untuk menjawab panggilan TUHAN? Hal yang menjadi batu sandungan dalam panggilan selalu dua hal di atas, yakni jati diri (latar belakang dan identitas) dan Kemampuan atau skill seseorang.



C. RELEVANSI DAN APLIKASI
1.  Dewasa ini banyak orang percaya menempatkan TUHAN sebagai seorang “pekerja” untuk dirinya sendiri. TUHAN hanya jadi pribadi yang “harus selalu bisa melaksanakan mau kita” dan bukan sebaliknya, TUHAN-lah yang mengerjakan kehendakNya dalam hidup ini.

     Efeknya dapat ditebak, bahwa ketika TUHAN “tidak melaksanakan” mau kita, akhirnya DIA dijauhi dan kesetiaanNya dipertanyakan. Bukankah adalah lebih baik untuk mempertanyakan diri sendiri dan mengoreksi diri kita, bahwa amat mungkin semua hal buruk yang kita alami justru karena kesalahan dan dosa kita. Jangan menjadi seperti Israel ataupun Gideon, kita harus tahu dan bukan pura-pura tidak tahu kesalahan dan justru sebaliknya balik menyalakan TUHAN.

2.  Banyak orang berpikir, bahwa hukuman tanda TUHAN tidak mengasihi lagi. Buktinya, karena Israel berkhianat maka TUHAN menghukum. Pemahaman ini sangatlah keliru, karena TUHAN tidak pernah menghukum umat perjanjian, murni karena alasan membenci. Acap kali TUHAN melakukan itu karena mengasihi umatNya agar tidak terjerumus.

     Bandingkan misalnya Wahyu 3:19 “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” Jadi, ukuran cemeti dan nhajaran itu, ditimpakan karena justru TUHAN mengasihi umatNya agar mereka dapat bertobat. Jadi, jika kita menghadapi model “cemeti” seperti ini, janganlah paling utama kita justru langsung menghakimi TUHAN, namun haruslah yang pertama kita mengoreksi diri sendiri untuk mencari kesalahan dan kealpaan. Setelah itu, mari bertobat untuk menemui kemuliaan TUHAN Allah yang mengasihi kita.

3      Sudah menjadi rahasia umum, bahwa seseorang mengukur dirinya atau seseorang mengukur orang lain hanya melalui dua hal, yakni Siapa dia/siapa aku (identitas dan latar belakang)  dan atau bisa apa dia/aku (kemampuan atau skill). Hal inipun tejadi ketika berada diwilayah panggilan untuk melayaniNya. Persoalan penting bukan identitas diri dan atau Skil/kemampuan, namnun yang utama adalah ketaatan kepadaNya dan Penyertaan TUHAN atas diri kita. Bagaimanapun juga Gideon akhirnya pergi menjawab panggilan itu, setelah ia menyadari bahwa TUHAN lah yang memerintahkan dan TUHAN sendiri akan menyertai. Kiranya kita dimampukan melakukan hal yang seperti itu. Amin.

Wednesday, February 6, 2019

LUKAS 10:25-37



BERBUAT BAIKLAH BAGI ALLAH MELALUI SESAMA
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
10 FEBRUARI 2019

P E N D A H U L U A N
Membaca perumpamaan Tuhan Yesus pada injil Lukas 10:25-37 tentang “Orang Samaria Yang Baik Hati”, umumnya banyak orang menganggap bahwa tindakan seorang Imam dan orang Lewi yang hanya meninggalkan orang yang hampir mati itu, merupakan tindakan tidak terpuji, tidak berperi-kemanusiaan; dan bahkan dianggap tidak seharusnya dilakukan oleh seorang agamawan. Alasan utama pendapat ini adalah karena imam dan orang lewi tersebut tidak memberikan pertolongan, sebagai orang-orang yang memperoleh kesempatan pertama untuk menolong. Di sisi lain, tindakan “orang Samaria yang baik hati ini” justru kontras dengan sikap para rohaniawan tersebut.
Makalah ini mencoba untuk melihat kisah perumpamaan ini dengan “sudut pandang yang baru” dengan cara menempatkan diri sebagai imam dan orang Lewi dalam cerita tersebut. Dengan menempatkan diri sebagai mereka, kiranya dapat diketahui alasan dan latar belakang dari tindakan keduanya yang seakan memberi kesan gagal menjadi sesama manusia bagi seorang korban perampokan di jalan Yerusalem ke Yerikho.  

EXEGESE TEKS (Uraian Perikop)
Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan kondisi tempat kejadian sehubungan dengan perumpamaan Yesus ini:

A.    Jalan Penghubung Kota Yerusalem Ke Yerikho
Jalan dari Yerusalem menuju ke Yerikho hanya 27 kilometer (17 mil) panjangnya, dan di sekitar jalan ini terbentang jalan yang menurun sekitar 1.000 meter.[1] Wilayah ini sebenarnya tidak berpenduduk, tidak ada tanaman, dan ditandai dengan adanya batu-batu karang kapur dan jurang di kedua sisi jalan. Pada zaman Alkitab, jalan tersebut diberi nama "jalan berdarah," kemungkinan besar karena dianggap tidak aman. Rute ini sering dilewati oleh para peziarah dan para kafilah. Dari waktu ke waktu mereka dirampok oleh bandit-bandit yang bersembunyi di belakang batubatu kapur.[2] 

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa jalan yang dilalui oleh orang yang dirampok pada perumpamaan “Orang Samaria Yang Baik Hati” itu merupakan jalan yang rawan, sulit dilalui serta tidak aman bagi para penggunanya. Tidak heran jika perampokan terjadi di situ. Kemungkinan besar kisah yang diangkat oleh Yesus, dalam perumpamaan ini, adalah peristiwa yang pernah terjadi walaupun tokoh-tokoh fiktif menghiasi kisah tersebut.

B.     Yerusalem Dan Yerikho
Terdapat dua tempat yang disebutkan oleh Yesus dalam perumpamaan ini, yakni Yerusalem dan Yerikho. Kedua tempat ini memang berbeda, namun memiliki konektivitas yang dalam dengan kisah ini secara khusus dengan dua tokoh pertama, yakni Iman dan Orang Lewi.

Kota Yerusalem adalah salah satu kota termasyur di dunia yang sudah berdiri sejak milenium 3sM. Kota ini terletak menjulang tinggi di punggung bukit pegunungan Yehuda, dan terletak kr 50km dari Laut Tengah dan kr 30km sebelah barat ujung utara Laut Mati. [3] Di kota inilah bangunan suci orang Israel yakni Bait Allah (biasa disebut Bait Suci)[4] berdiri megah yang menjadi pusat peribadahan dan penyembahan umat kepada Allah.

Kota Yerikho dalam PL biasa dianggap sama dengan bukit Tel es-Sultan yang terletak kr 16km sebelah Baratlaut muara sungai Yordan sekarang di Laut Mati, kr 2km Baratlaut dari desa er-Rikha (kota Yerikho Modern), dan 27km Timurlaut dari kota Yerusalem. Kota ini berbentuk jambu biji dengan ukuran panjang kr 400m utara-selatan dan lebar ujung utaranya kr 200m dengan tinggi kr 20 meter. Berbeda dengan Perjanjian Lama, kota Yerikho menurut Perjanjian Baru, khususnya pada zaman Herodes terletak di bukit Tulul Abu el-‘Alayiq, 2 km sebelah Barat desa er-Rikha modern. Dengan demikian, letak kota Yerikho dalam PB dan dalam kisah ini berada di sebelah selatan kota Yerikho dalam Perjanjian Lama.[5] Kota ini kemudian terkenal memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi. Kota ini juga merupakan tempat tinggal para imam.

Mengapakah orang-orang ini berjalan melalui jalur Yerusalem-Yerikho ini? Tampaknya sebagian besar imam dan orang Lewi yang bertugas di Bait Suci tidak tinggal di Yerusalem tetapi ditempat lain[6]. Yerikho merupakan salah satu tempat tersebut. Diduga ada kurang lebih 12 ribu imam dan orang Lewi tinggal disana[7] (jumlah total imam Bait Allah adalah sekitar 7200 orang dengan jumlah orang Lewi yang lebih banyak lagi) [8]. Berdasarkan fakta ini maka adalah wajar jika Imam dan orang Lewi melakukan perjalanan melalui jalur tersebut.

C.    Siapakah Imam Dan Orang Lewi Itu?
Imam adalah orang-orang yang bertugas menjalankan ritual keagamaan di Bait Suci. Para imam ini dibagi menjadi 24 kelompok yang setiap kelompok bertugas selama 1 minggu per waktu sebanyak 2 kali dalam satu tahun. Meskipun begitu dalam hari-hari raya besar mereka semua diminta untuk bertugas.[9] Sedangkan Orang Lewi juga merupakan petugas dalam Bait Suci. Tugas mereka ialah bernyanyi dan memainkan musik untuk ibadah-ibadah yang berlangsung, membantu pekerjaan para imam dan menjadi penjaga[10]. Mengingat bahwa kehidupan bangsa Yahudi berpusat kepada Bait Suci maka tentulah orang-orang yang bertugas dan melayani disana memiliki status sosial dan kebanggaan tersendiri.

D.    Mengapa Mereka Mengabaikan Orang Yang Dirampok Itu?
Dalam ayat 31-32 dikatakan dalam teks ada seorang imam dan lewi yang melewati daerah tersebut dan menemukan orang yang sedang tergeletak di jalan tersebut yang baru saja di rampok dan dipukuli sampai setengah mati. Namun, imam tersebut hanya melewatinya saja dan tidak menolongnya. Membayangkan situasi yang ”setengah mati” tersebut dengan perspektif melihat dari kejauhan, tentulah imam tersebut tidak bisa membedakan apakah sudah mati atau masih kritis “setengah mati” sebagaimana tertulis dalam ayat 30.

Ia tidak menolong kemungkinan disebabkan karena ia teringat akan ketentuan bahwa barangsiapa yang menyentuh orang mati maka ia menjadi najis selam tujuh hari (Bil 19:11). Imam ini ragu-ragu apakah ia masih hidup atau sudah mati, oleh karena itu ia tidak mau menolongnya. Selain ia menjadi najis dan tidak dapat melakukan kegiatan di Bait Allah, maka agar dapat menjadi tahir kembali, seorang imam harus melakukan ritual yang rumit dan juga membutuhkan biaya yang mahal untuk melakukan pentahiran tersebut (Bil 19:1-10). Sehingga kemungkinan dengan alasan tersebut imam ini tidak menolong orang ini dan lebih mementingkan kehidupan pribadinya daripada menolong sesama.[11]

Kemudian di ayat 32 juga dikatakan bahwa orang Lewi juga melihat orang yang tergeletak tersebut, namun dia juga tidak menolongnya. Alasan yang sama seperti dengan Imam kemungkinan menjadi penyebabnya. Selain itu, biasanya para bandit mempunyai strategi untuk menarik mangsanya. Bisa saja orang yang sedang terbaring itu adalah salah seorang anggota mereka sendiri yang bertindak sebagai korban. Kalau orang Lewi itu berhenti disitu maka dengan tiba-tiba para perampok juga akan menyergap dia dan merampok harta bendanya. Orang Lewi terkenal dengan semboyan “pertama-tama adalah keamanan diri”, jadi ia tidak mau mengambil resiko dengan menolong orang tersebut.[12] Selain takut jika korban itu adalah stategi yang digunakan oleh perampok, kemungkinan orang Lewi juga takut menjadi najis mengingat ia mempunyai tugas di dalam Bait Allah seperti yang telah dijelaskan di atas.

E.     Salahkah Aku Jika Ingin Menjalankan Kewajiban Agamaku?
Dari uraian di atas, maka di saat kita menempatkan diri sebagai orang lewi dan imam dalam perumpamaan Yesus mengenaii Orang Samaria Yang Baik Hati tersebut, terdapat beberapa penekanan penting untuk dapat dijadikan alasan mengapa tindakan mereka berdua dapat dianggap “tindakan tak keliru” saat mengabaikan orang yang hampir mati tersebut, yakni:
1.  Siapakah orang yang sedang “setengah mati” akibat dianiaya oleh para penyamun tersebut? Sepertinya, Yesus tidak fokus pada tokoh yang terkena musibah tersebut. Hal ini terlihat dari tidak diuraikannya oleh Yesus latar belakang korban (status sosial, kebangsaan dll). Alkitab menyebut hanya 1 kepastian yakni ia telah dianiaya dan saat itu sedang sekarat atau hampir mati. Istilah “setengah mati” bisa berarti hampir mati, yakni kondisi yang terlihat seakan ia sudah mati (tak bergerak, penuh luka dan darah). Di mata imam dan orang Lewi orang setengah mati ini seperti sudah mati dan menjadi mayat. Walau ternyata kenyataannya, ia belum mati. Tetapi apakah mereka berdua tahu bahwa sang korban belum mati? Atau mereka hanya tahu bahwa dijalan itu jenasah orangg mati?

2. Merujuk pada Imamat 21:1 yang menyebutkan: TUHAN berfirman kepada Musa: "Berbicaralah kepada para imam, anak-anak Harun, dan katakan kepada mereka: Seorang imam janganlah menajiskan diri dengan orang mati di antara orang-orang sebangsanya,” menunjukkan bahwa tindakan seorang Imam pada perumpamaan tersebut, didasarkan atas ketaatannya pada perintah TUHAN sendiri. Demi menjaga kekudusan dirinya sebagai pelayan di Rumah TUHAN, maka ia memilih menghindari “sesuatu” yang terlihat seperti jenasah tersebut. Dengan kata lain, bahwa ia sendiri terikat pada ketentuan agamanya sendiri, yang melarang dirinya sebagai imam untuk menyetuh orang mati. Menyentuh orang mati membuatnya menjadi najis. Dan dampak dari kenajisan tersebut adalah tertutupnya kesempatan bagi mereka sebagai pekerja Bait Allah untuk melayani Allah.

3.      Selanjutnya, apabila memperhatikan Taurat dalam kitab bilangan 19:11, kita mendapat penjelasan bahwa lamanya seseorang menjadi najis karena menyentuh mayat adalah 7 (tujuh) hari, maka cukup beralasan bahwa sangat beresiko bagi kedua pelayan Bait Allah itu apabila menolong orang yang “setengah mati” tersebut yang terlihat menurut mereka adalah jenasah orang mati. Adalah sangat mungkin dengan kurun waktu yang lama itu (satu minggu) mereka tidak dapat menjalankan tugas sebagai imam dan sebagai orang lewi dalam penugasan khusus tersebut.

Dari 3 (tiga) poin penting ini, maka kita menemukan dalam persepktif kewajiban dan ketentuan agama dan secara khusus sebagai pelaksana kegiatan keagamaan, imam dan orang lewi justru tidak gagal, melainkan karena ketaatan pada kaidah agamanya-lah hal itu mereka lakukan. Pengabaian terhadap orang yang dirampok tersebut tidak dapat disalahkan kepada mereka apabila berada dalam usaha menjalankan kewajiban agama.

APLIKASI DAN RELEFANSI
Uraian di atas tidak bermaksud membenarkan imam dan orang lewi atas tindakan mereka. Tetapi mencoba berada diposisi mereka dan menemukan perspektif yang benar dari sudut pandang kedua orang tersebut. Tetapi, apakah tindakan mereka benar secara kemanusiaan? Perumpamaan Yesus tidak berkonteks pada kewajiban melaksanakan panggilan keagamaan Yahudi. Perumpamaan Yesus justru berada pada latar pertanyaan: “siapakah sesamaku manusia?” Hal ini berarti, Yesus sedang menjawab bagaimana seharusnya BERSIKAP SEBAGAI SESAMA MANUSIA.

Inilah kegagalan orang lewi dan imam tersebut dalam perumpamaan Yesus. Benar bahwa mereka menjalankan kewajiban agama dengan baik, tetapi mereka gagal berprilaku sebagai sesama manusia bagi orang yang hampir mati itu. Yesus tidak bicara soal kewajiban aturan keagamaan, tapi Yesus mengoreksi kegagalan prilaku kemanusiaan seorang yang beragama dan pengajar keagamaan yakni si penanya yang adalah ahli Taurat. Mengasih Allah dengan menjalankan kewajiban agama secara liturgis adalah baik. Tetapi lebih mulia dan lebih berkualitas hidup keagamaannya apabila ia mengasihi Allah dengan cara mengasihi sesamanya manusia sebagai ciptaan Allah. Perumpamaan ini justru menjawab pertanyaan Ahli Taurat: "siapa sesamaku manusia itu?" (Ay.29). Apa artinya? Seorang Imam dan orang Lewi dalam perumpamaan ini telah BERHASIL melaksanakan peraturan agama (Taurat) tetapi mereka GAGAL menjadi sesama manusia bagi yg sekarat itu dan yang butuh pertolongan tersebut.

Di sisi lain kita juga pasti menyanjung Orang Samaria yang murah hati tersebut, bukan? Yah... itu tindakan yang mulia, terpuji dan penuh cinta kasih. Tetapi menurut saya, yang tidak kalah mulia, terpuji, rendah hati dan penuh kasih adalah Si Pengarang perumpamaan ini, yakni Tuhan Yesus. Mengapa? Karena pada kisah sebelumnya ternyata Yesus pernah ditolak melintas di kampung orang Samaria (9:51-56). Para murid marah dan mohon ijin menggunakan kuasa Ilahi untuk binasakan orang2 di kampung itu, tetapi justru Yesus memarahi mereka (ay.54-55). Ketika menceritakan perumpamaan di atas, harusnya ada kesempatan bagi Yesus untuk membalas kejahatan orang2 Samaria itu dan menjadikan orang Samaria sebagai tokoh yg jahat di perumpamaan ini. Ternyata tidak, bukan? Justru orang Samaria dalam perumpamaan itu menjadi tokoh utama, tokoh heroik dan mulia. Hebat bukan Si Pengarang perumpamaan ini?

Selanjutnya, apa jawaban si penanya (ahli Taurat) ketika di akhir kisah Yesus bertanya: "menurutmu, siapakah sesama manusia dari orang yang malang itu?" Si ahli Taurat menjawab: "Orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya" (ay.37). Jawaban ini BENAR, tetapi TIDAK tulus...! Seharus ia menjawab: "Orang Samaria yang baik hati itu". Mengapa ia tidak menyebut orang Samaria dari mulutnya sendiri? Karena orang Samaria dan Yahudi bermusuhan. Orang Samaria dianggap rendah oleh kalangan Yahudi. Sehingga ia merasa “najis” untuk menyebut Samaria dari mulutnya

Karena itu, orang yang paling malang hidupnya bukan si korban kejahatan dalam kisah perumpamaan ini. Tetapi justru si Ahli Taurat inilah yang "paling malang" hidupnya karena gagal menjadi "manusia" bagi orang lain (walau hanya lewat ucapan sekalipun). Lalu, jika meluaskan arti sesama manusia dengan istilah sesama ciptaan Allah, maka si keledai, yg terkenal sebagai binatang bodoh, jauh lebih baik. Karena bersedia dengan rela memikul si korban hingga tiba ke tempat pengobatan (ay.34). Si keledai berhasil menjadi "sesama ciptaan Tuhan" bagi si korban.  



[1] Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003), hlm. 219.

[2] Cerita-cerita mengenai perampok-perampok di jalan raya sepanjang jalan ke Yerikho telah dicatat sejak dahulu sampai sekarang. Misalnya, lihat komentar Jerome tentang Yeremia 3:2. Lihat pada: http://www.sarapanpagi.org/25-orang-samaria-yang-murah-hati-vt1699.html (diakses pada tanggal 19 Desember 2015.

[3] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, (Jakarta: Yayaysan Komunikasi Bina Kasih, 2007), hlm. 571

[4] Menurut sejarahnya, Ada dua Bait Suci yang berdiri berturut-turut di Bukit Bait Suci di Yerusalem:
·         Bait Suci Salomo yang dibangun sekitar abad ke-10 SM untuk menggantikan Kemah Suci. Bangunan ini dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah Nebukadnezar pada tahun 586 SM.
·         Bait Suci Kedua dibangun setelah bangsa Yehuda kembali dari pembuangan di Babel, sekitar tahun 536 SM (selesai pada 12 Maret 515 SM[1]).
·         Bait Suci Herodes adalah perluasan dari Bait Suci Kedua termasuk renovasi atas seluruh Bukit Bait Suci. (Bangunan ini tidak disebut "Bait Suci Ketiga".) Herodes Agung memulai proyek perluasannya sekitar tahun 19 SM. Bangunan ini dihancurkan oleh pasukan-pasukan Romawi di bawah Kaisar Titus pada tahun 70 M. Namun sebagian sejarahwan menduga bahwa orang-orang Yahudi sendiri telah membakar Bait Suci Kedua agar tidak dicemari.
Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Bait_Allah_(Yerusalem) diakses pada tanggal 19 Desember 2015

[5] I b i d,  hlm. 567

[6] E. Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, (Michigan: Eerdmans Publishing Co., 2003), hlm. 565

[7] e-Sword, Albert Barnes' Notes on the Bible, Lukas 10:30

[8] S. W. Wahono, Di Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), hlm. 324

[9] E. Ferguson, ibid.,  h.565

[10] S. W. Wahono,, ibid., h.324
[11] Barclay, W., Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Lukas, (Jakarta:BPK Gunung  Mulia, 2011), hlm. 199-201

[12] Ibid., h. 199-201