Wednesday, January 30, 2019

KEJADIAN 12:16-20

TUJUAN BAIK TIDAK BERARTI MENGHALALKAN SEGALA CARA
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Rumah Tangga
Rabu, 06 FEBRUARI 2019

A. PENGANTAR
Kekuatiran berlebihan dan rasa takut berlebihan membuat orang acap kali keliru mengambil suatu keputusan. Ada istilah menarik yakni “menunduk dulu baru kemudian menanduk”. Kalimat ini adalah filosofi “kerbau” yang saya dengar dari beberapa orang Palopo Sulawesi Selatan. Makan dari “Filosifi Kerbau” ini adalah jangan langsung menanduk (mengambil keputusan apapun) sebelum menunduk (memikirkan dan menyiapkan secara matang). Jika kita membaca keseluruhan perikop ini (Kej.12:10-20), sepertinya konsep ini tidak dilakukan oleh Abram. Ia terburu-buru mengambil keputusan “untuk selamatkan diri” hanya karena kekuatirannya yang berlebihan.


B. PENJELASAN NATS
Bermula dari kisah Abram dan keluarganya dipanggil Tuhan untuk keluar dari Ur-kasdim menuju ke tanah Kanaan. Pada saat itu negeri tempat orang-orang Kanaan mengalami kelaparan yang sangat besar (ay.10), sehingga Abram memutuskan untuk berangkat ke Mesir. Inilah panggal masalahnya.

Mari perhatikan beberapa hal yang dibuat oleh Abram dan kemudian apa dampaknya bagi orang-orang sekitar mengenai langkah keliru yang ia lakukan itu, yakni:
1.      Ketakutan yang berlebihan
Perhatikan ay 11-13 perikop bacaan kita. Menurut Abram ancaman terbesar saat masuk di Mesir adalah ia akan dibunuh oleh orang Mesir. Apa penyebabnya? Menurut Abram karena istrinya (Sara) sangat cantik. Memang benar bahwa raja memiliki kehendak bebeas dan otoriter dalam segala hal termasuk jika mengingini sesuatu (dalam hal ini perempuan sebagai istri atau gundik). Raja bisa melakukan apa saja untuk memperolehnya.

Rupanya, inilah hal yang dikuatirkan oleh Abram. Karena ketakutannya itu, maka ia meminta Sara menyangkali statusnya sebagai istri Abram, dan sudah pasti Abram melakukan hal yang sama yakni menyangkali bahwa ia adalah suami dari Sara. Ketakutan yang berlebihan membuat Abram melakukan cara yang keliru. Demi menyelamatkan nyawanya, ia tega membiarkan istrinya di noda oleh Firaun.

2.      Istri menjadi tameng?
Ya,.. Sara akhirnya yang menjadi tameng alias pelindung Abram. Dengan berpikir bahwa jika Sara disukai Firaun dan Sara “dikenal” sebagai adiknya, maka pastilah mereka akan disambut baik. Perhitungan Abram tidak salah, karena memang mereka disambut dengan sangat baik dan bahkan Abram memperoleh banyak harta benda dari Firaun (ay.16).

Sekarang, mari berpikir tentang apa yang dirasakan oleh Sara. Walaupun alkitab tidak menyebut penolakan Sara pada ide “gila” ini, pastilah Sara sangat terpukul. Dalam tradisi budaya setempat, suami dianggap “tuan” oleh istrnya. Sehingga apa yang dikatan suami pasti disetujui oleh istrinya. Hal ini pasti yang terjadi saat itu. Dalam rangka tunduk dan taat, Sara rela mengerjakan permintaan Abram.

Demi keselamatannya, istri menjadi tameng. Lebih tepatnya Sara adalah korban dari tindakan keliru Abram. Tujuan yang baik untuk menyelamatkan nyawanya dan keluarganya itu, dicapai Abram dengan cara yang tidak benar yakni mengorbankan istrinya.

3.      Tuhan diragukan?
Tindakan spontan mencari jalan keluar sendiri yang dilakukan Abram adalah indikasi bagi keraguan imannya. Wajar hal itu terjadi. Silakan bayangkan bagaimana ia mesti pergi meninggalkan sona nyaman ke tempat yang tidak ia ketahui atas perintah Allah yang belum ia “kenal dengan baik” pada saat itu. Bermodal janji Tuhan ia pergi dan berangkat meninggalkan kampung halamannya.

Lalu pada awal perjalanan, ia dan keluarga serta rombongan besar harus menghadapi musim kelaparan yang tidak terelakkan di negeri asing. Masalah belum selesai, tiba-tiba kemudian merasa teracam nyawanya oleh orang mesir karena memiliki istri yang cantik rupawan.

Ya, Abram tidak sempat memikirkan “Tuhan” dan kedasyatannya itu. Ia belum mengalami perjalanan dengan Tuhan yang ajaib. Sehingga adalah manusiawi jika ia meragukan Tuhan yang memerintahan ia pergi. Dengan kata lain, kita melihat bahwa aspek keraguan iman bukan saja disebabkan oleh masalah besar di depan mata, tetapi juga pengalaman iman bersama dengan Allah. Inilah bisa jadi persoalan yang dihadapi oleh Abram

4.      Firaun dan mesir menjadi korban
Tindakan keliru Abram bukan saja menyeret istrinya menjadi korban dan akan dinodai oleh Firaun. Tetapi Firaun yang tidak tahu masalah ini akhirnya juga menjadi korban kebohongan Abram. Perhatikan ayat 18-20!! Betapa Firaun sangat terkejut ketika mengetahui bahwa hukuman Allah yang ia dan seisi istananya alami disebabkan karena mengambil istri Abram itu. Menurut pengakuan Firaun, ia tidak pernah tahu bahwa Sara adalah istri Abram.

Barangkali ada yang bertanya, mengapa Tuhan bukan menghukum Abram tapi justru menghukum Firaun? Sulit menemukan jawabannya. Bisa jadi fokus kisah Abram dan Firaun ini ada pada “ketamakan” Firaun yang tidak bisa melihat dan menahan diri terhadap kecantikan Sara. Tapi bagaimanapun juga, tindakan Abram tetap merugikan orang lain, yakni Firaun dan seisi istananya.

Penting untuk direnungkan, bahw atindakan gegabah bukan saja merugikan diri tetapi juga merugikan orang lain. Kisah Abram dalam perikop ini menjadi pelajaran khusu bagi siapapun yang percaya. Kita diajak dan diigatkan bahwa tujuan yang baik, tidak berarti menghalalkan segala cara. Jangan demi menyelamatkan diri sendiri, orang lain dengan sengaja dikorbankan dan mereka yang tidak mengerti situasi itu justru yang menjadi korban.


C. REFLEKSI
Mari diskusikan hal ini sesuai dengan kebutuhan tiap sektor

Wednesday, January 23, 2019

YAKOBUS 4:13-17


MELIBATKAN TUHAN DALAM PERENCANAAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Rumah Tangga
Rabu, 30 JANUARI 2019

A. PENGANTAR
Pernahkan saudara membuat janji dengan seorang rekan yang beragama Islam dan kemudian kita ingin memastikan jadi atau tidak rencana itu, atau apakah ia bersedia datang atau tidak? Kita sering mendengar jawaban “insya Allah”, bukan? Istilah ini berarti “jika Tuhan Ijinkan”. Dalam bahasa latin perkataan seperti ini dikenal dengan sebutan O Deo Volente yang bermakna kepasrahan kepada kehendak sang Khalik sambil tidak lupa mengusahakannya. Inilah yang juga diajarkan oleh Yakobus pada perikop kita. Surat ini ditujukan kepada orang Kristen Yahudi diaspora yakni mereka yang tersebar dalam perantauan. Yakobus menujukan surat ini kepada duabelas suku yang telah percaya kepada Yesus Kristius (1:1).

Sepertinya, Yakobus melihat berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh jemaat Tuhan ini dengan cara umum, yakni tentang perbagai pencobaan hidup yang harus mereka alami sebagai kaum pendatang maupun pencobaan iman sehubungan dengan status mereka sebagai orang percaya (1:2-18); bagaimana seharusnya sikap orang percaya berhubungan dengan Firman Tuhan yang telah mereka terima (1:19-27); relasi dan interaksi dalam jemaat maupun di luar jemaat (2:1-13; 3:1-18); iman yang harusnya diejawantahkan dalam perbuatan (2:14-26); dan beberapa pokok penting yang berhubungan dengan tindakan, cara hidup serta sikap yang harus dilakukan oleh seorang yang percaya kepada Yesus Kristus (4:1-5:20). Dengan kata lain, surat Yakobus justru menitik beratkan pada aspek praktis yakni tindakan nyata dari tiap orang percaya yang mengimani Yesus Kristus.

Pada perikop pasal 4:13-17, Yakobus fokus pada bagaimana seharusnya seorang Kristen mempraktekkan imannya kepada Tuhan melalui melibatkan Tuhan dalam aspek kehidupan termasuk pada situasi yang belum terjadi atau baru sedang direncanakan. Bahwa percaya kepada Allah harus diikuti dengan tindakan nyata untuk membiarkan segala sesuatu terjadi dalam kehendakNya.

B. PENJELASAN NATS
Yakobus memulai pengajarannya dengan menunjuk pada sekelompok orang dengan status mulia (kaya dan terpandang) yakni para pedagang yang membuat perencanaan untuk hari ini atau besok akan mendapatkan untung melalui pergi berdagang ke suatu tempat yakni kota “Anu” (pengandaian tempat).
Persoalan Yakobus ada pada ayat 14, yakni “tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok”. Sudah pasti para pedagang ini bukan “anak kemarin sore” yang tidak berpengalaman. Mereka tentunya sangat profesional di bidangnya. Tetapi bagi Yakobus, sehebat apapun perencanaan, sejitu apapaun strategi yang dibuat di hari ini untuk target hari esok, tetapi semuanya ditentukan oleh apa yang terjadi di hari esok. Kalimat “tidak ada yang tahu tentang hari esok” menunjuk tentang keterbatasan manusia yang tidak pernah bisa membuka “misteri” esok hari, kecuali bersiap menghadapi kondisi apapun tentang esok. Kalimat “tidak ada yang tahu tentang hari esok” juga adalah suatu kepastian bahwa tidak ada yang bisa memastikan kendala dan halangan yang muncul tiba-tiba tanpa bisa diprediksi sebelumnya. Ujung akhirnya adalah bukan untung, malah buntung alias merugi.

Menarik sekali bahwa Yakobus menyebut ketidaktahuan tentang hari esok setara dengan gambaran kehidupan manusia bagaikan uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap (ay.14b). Apakah maksud pernyataan Yakobus ini? Apakah orang tidak boleh membuat perencanaan? Yakobus tidak fokus pada membuat perencanaan, tetapi pada kepogahan dan kesombongan merencanakan hidup menurut kemampuan diri sendiri (ay.16). Bagi Yakobus, hal itu adalah sikap Congkak dan angkuh karena melihat kemampuan dan kelebihan diri sebagai modal utama menuju kesuksesan. Hal ini lumrah di kalangan para pedagang yang memiliki jejak sukses dan modal dagang yang besar. Tetapi justru keangkuhan seperti inilah yang akan menghancurkan. Sebab siapakah yang dapat menjamin bahwa hari esok ia masih bisa berdagang? Apakah ia mampu memastikan bahwa di esok hari dirinya masih bisa hidup untuk mengerjakan rencana itu?

Berdasarkan hal di atas inilah, maka Yakobus memberikan pengajaran tentang bagaimana seharusnya membuat rencana hidup itu. Bagaimana menyusun rencana hari esok? Yakobus menyebut ὁ κύριος θελήσῃ (baca: ho kurios thelese). Istilah “θελήσῃ” dari kata θέλω (baca: thelo) yang berarti: keinginan, hasrat, kehendak, dan kemauan. Maka dengan sederhana perkataan Yakobus ini bermakna: engkau seharusnya berkata, “jika rencanaku ini sesuai dengan rencana Tuhan”; atau “jika apa yang aku inginkan sama dengan yang Tuhan inginkan”; atau “jika sesuai dengan kehendak Tuhan”. Pemahaman ini setara dengan istilah latin O Deo Volente atau “insya Allah” yang disebutkan di awal tadi.

Yakobus memberikan prinsip benar dalam merencanakan hari esok yakni: melibatkan Tuhan dalam perencanaan. mengapa hal ini begitu penting? Sebab menurut Yakobus sebagaimana di ayat 14: tidak ada yang tahu tentang hari esok. Karena tidak ada yang mengetahui hari esok, maka seharusnya mencari pihak yang mengerti dan mengetahui tentang kondisi esok hari. Pribadi yang mengetahui segala-galanya, termasuk peristiwa esok yang belum terjadi adalah Tuhan pencipta dan penguasa waktu termasuk penguasa hari esok. Itulah sebabnya, bagi Yakobus melibat Tuhan dalam perencanaan sangatlah penting.

Di sisi yang lain, O Deo Volente (jika Tuhan kehendaki) juga memiliki makna penting yakni suatu pengakuan bahwa apapun yang saya kerjakan, harus tunduk pada kehendak Tuhan (kekudusan dan kebenaran, keadilan dan pengasihan = sifat ilahi) dan bukan untuk kemauan dan keuntungan diri. Pengajaran Yakobus ini juga mengarah pada mentalitas orang percaya bahwa bukan kuat dan gagahku yang diandalkan melainkan Tuhan sang Mahakuasa-lah yang memampukanku.

Pada bagian akhir perikop ini secara tiba-tiba, Yakobus menyebut tentang dosa. Ia berkata: Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa (ay.17). Berbuat baik bagaimana yang dimaksudkan Yakobus? Kalimat ini merupakan pengunci ajaran tentang “melibatkan Tuhan dalam perencanaan”. Maka perbuatan baik yang dimaksud adalah tidak meluoakan Tuhan dalam perencanaan. Jika telah mengerti ajaran ini namun tidak melakukannya, maka ia berdosa. Sifat yang mengabaikan Tuhan dalam gerak kehidupan, bukan saja merupakan perbuatan salah, namun sama halnya telah berbuat dosa. Karena itu, jangan melupakan Tuhan dalam hidup dan perencanaan hidup kita.

C. REFLEKSI
Mari diskusikan hal ini sesuai dengan kebutuhan tiap konteks jemaat



Wednesday, January 16, 2019

MAZMUR 82:1-8


PENGHAKIMAN BAGI PELAKU KETIDAK-ADILAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Persekutuan Kaum Perempuan
Minggu, 20 Januari 2019


PENGANTAR
Pelaku kejahatan pada saatnya akan tertangkap dan kejahatannya terungkap. Bagian akhir adalah ia dihakimi oleh hakim untuk mengukur kadar yang tepat hukuman yang akan diberikan berdasarkan nilai kejahatannya. Di sinilah peran hakim dibutuhkan. Karena itu hakim harus mempunyai wawasan luas, kemampuan melihat dengan berbagai sudut pandang berbeda satu kasus tertentu, berhikmat untuk menhimpun tiap bahan putusan, dan keberanian atas nama kebenaran dan keadilan ketika membuat amar putusan bagi para pesakitan.

Sekarang bagaimana jika hakim justru membuat keputusan keliru. Keliru yang dimaksud tidak sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku? Bagaimana jika berdasarkan wewenang yang ia miliki, hakim mengunakan kekuasaannya untuk menindas dan emutar-balikkan kebenaran? Bagaimana jika orang benar justru dihukum dan orang jahat bebas dari vonis? Mereka yang seperti itu adalah para pelaku ketidakadilan.  

TELAAH PERIKOP
Asaf memotret ketidakadilan yang terjadi di depan matanya, lalu berseru kepada TUHAN Allah Israel yang ia juluki sebagai Hakim juga. Ia menggambarkan tentang proses sidang ilahi (ay.1) untuk menghakimi para pembuat keputusan pengadilan di dunia (ay.2). Asaf menyampaikan sesuatu yang menarik tentang para hakim ini, yakni ia menyebut mereka sebagai “para allah” (ay.6). Istilah ini dalam teks asli tertulis אֱלֹהִים (baca: 'elohiym). Dari bentuk kata ‘elohim merupaka kata benda maskulin plural sehingga harus diterjemahkan dengan jamak (para allah, allah-allah). Secara literer, istilah ini berarti penguasa, pembuat aturan, pengadil (pembuat keadilan dan hukuman) yang umumnya diakui oleh umat Israel sebagai siapa TUHAN itu, yakni penguasa, pembuat aturan, pengadil atau Allah.

Maka, ketika membaca Mazmur ini, kita diajak oleh asaf membayangkan bahwa Hakim Agung yakni TUHAN, Allah Israel sedang menghakimi para penguasa, pembuat aturan, pengadil (hakim) atau para allah (huruf kecil) ini. Mengapa mereka dihakimi? Pada ayat 3-5 kita menemukan jawabannya, yakni para hakim ini gagal melaksanakan funhsi mereka sebagai penguasa, pembuat aturan, dan penentu keadilan di dunia. Mereka gagal untuk:
-          Memberikan keadilan kepada yang lemah (ay.3a)
-          Membela hak orang sengsara dan kekuarangan (ay.3b)
-          Melepaskan orang miskin dari cengkraman orang fasik (ay.4)
-          Menuntun ke jalan yang benar mereka yang tidak mengerti (ay.5)

TUHAN Allah Israel, menurut Asaf, memberikan kedudukan yang sangat tinggi bagi para hakim ini, yakni mereka adalah para allah (ay.6) yakni penguasa dunia yang diberi gelar anak-anak Yang Mahatinggi. Namun karena kegagalan mereka, dan kejahatan mereka yang tidak melaksanakan tanggungjawab besar dari kedudukan tinggi mereka, maka Sang Mahatinggi telah hadir untuk menghakimi mereka dan membuat keputusan yang tak terelakkan yakni kebinasaan bagi mereka (ay.7).

Kita menemukan makna penting antara tugas dan jabatan. Bahwa jabatan hanya hadir jika telah ada fungsi tugas atau tanggung jawab kerja. Di Israel, seorang yang membuat aturan, menegagkan keadilan, menuntun banyak orang disebut sebagai hakim atau mendapat jabatan hakim. Maka ketika si hakim tidak melaksanakan fungsi tugasnya sebagai hakim, dengan sendirinya ia dianggap bukan hakim lagi dan oleh TUHAN ia dibinasakan.

Pada bagian akhir, seakan bosan dan tak sanggup melihat praktek ketidak-adilan yang ia lihat, maka Asaf berseru kepada Allah agar TUHAN sajalah yang melaksanakan fungsi tugas ini, tidak ada yang baik dari mereka, hanya TUHAN saja yang memiliki kuasa atas dunia ini (ay.8). Kegagalan mereka (para allah) melaksanakan fungsinya, membuat umat berseru memohon kehadiran TUHAN untuk mendatangkan keadilanNya bergulung-gulung di muka bumi ini. Jika Ia yang datang sebagai Hakim, maka tidak ada satupu yang luput dari mataNya termasuk para pembuat keputusan hukuman, penguasa dan pembuat ketidakadilan.



RELEVANSI DAN APLIKASI
Pokok-pokok pikiran yang dapat menjadi bahan relevansi Firman ini bagi kehidupan umat percaya adalah:
1.      Ketidak-adilan bukan barang baru di dunia ini termasuk di Indonesia. Itu seakan menjadi “lumrah” terlihat di mana-mana. Tetapi bukan berarti hal yang “lumrah” itu layak untuk dilakukan. Tidak ada kata “wajar” bagi kejahatan dan ketidk-adilan.

Sebagaimana Asaf, kita diajar untuk tidak lelah mencari keadilan dan memperjuangkannya. Tanpa usaha memperjuangkan keadilan, maka kondisi “tak adil” akan terus terjadi.  

2.      Sebagai ibu rumah tangga dan seorang istri, kita dapat memulainya di rumah, yakni dengan mengajarkan keadilan kepada anak-anak. Memperhatikan mereka tanpa “pilih kasih”, menyatakan salah bila salah, menegur dan tidak membarkan kejahatan “kecil” terjadi di rumah. Hal-hal seperti ini juga adalah cara kita mempraktekkan keadilan disekitar kita.

3.      Pada waktunya nanti, tiap kita akan mempertangung-jawabkan segala sesuatunya (lihat ay.7). Pedulikah kita kepada mereka yang membutuhkan tuntunan, arahan dan pertolongan (lih. ay.3-5).

Silakan kembangkan materi ini sesuai kondisi dan kebutuhan umat yang mendengarkan Firman ini.







MAZMUR 24:7-10

MENYAMBUT KEHADIRAN TUHAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Rumah Tangga
Rabu, 23 Januari 2019


PENGANTAR
Mari bayangkan hal ini: Apa yang dirasakan oleh seorang prajurit ketika ia dipercayakan untuk menjaga dan mengawal tanda-tanda kebesaran negara, misalnya bendera pusaka, naskah proklamasi dsb. Tentunya sangat bangga dan bertekad untuk melakukan dengan baik.

Demikian yang dialami oleh Daud. Bahwa TUHAN Allah Israel berperang bersamanya, sehingga ia kemudian berhasil mengalahkan orang Filistin, lalu kemudian memindahkan Tabut Perjanjian ke Yerusalem. Segala persiapan dibuat, kereta baru disiapkan dan kekudusan Tabut itu dijaga agar tidak disentuh sembarang orang. Suatu kebanggaan tersendiri bagi Daud (baca kisah ini di 2Sam 6). Tidak heran jika ia menggubah suatu mazmur yang diciptakannya untuk nyanyian sorak-sorai bagi TUHAN Allah Israel.

TELAAH PERIKOP
Jika saudara membaca Mazmur ini, maka harus membayangkan bahwa Tabut Perjanjian itu sedang diangku menuju Yerusalem dan puji-pujian itu dinyayikan oleh sekalian orang yakni lagu yang diciptakan khusus oleh Raja Daud. Bicara tentang Tabut Perjanjian, berarti berbicara tentang kehadiran Allah. Sebab tabut itu adalah simbol kehadiran Allah. Melihat Tabut itu berarti menyaksikan kehadiran Allah. Sesuatu yang menggetarkan secara spiritual tetapi juga beban khusus secara psikologi. Semua kondisi itu bercampur aduk lewat mazmur pujian ini.

Perhatikanlah isi Mazmur ini! Ia mendefinisikan siapa TUHAN Allah Israel yang sedang ia “hantar” (disimbolkan melalui Tabut) memasuki Yerusalem. Sambil Tabut itu diangkat, Mazmur ini didaraskan:
-          TUHAN itu adalah pemilik langit dan bumi dan segala isinya (ay.1), sebab Dia yang menciptakan semuanya (ay.2).
-          Kekudusannya hanya dapat didekati oleh orang-orang yang menanyakan dan mencari Dia (ay.6), yakni mereka yang bersih tangannya, murni hatinya (suci hati dan tidak terkotori oleh keinginan dosa, yang lurus jalannya tanpa tipu muslihat dan tidak berdusta (ay.4).

Selanjutnya, dalam Mazmur ini disisipkan suatu pengajaran tentang janji Allah. Bahwa mereka yang memenuhi kriteri layak mendekati kekudusan-Nya itu akan menerima berkat dan keselamatan dari Dia (ay.5).

Setelah menjelaskan siapa TUHAN, Allah Israel itu yang akan datang ke kota kudus Yerusalem, dan menguraikan tentang siapakah yang layak untuk menyambutnya, maka selanjutnya pemazmur melalui nyanyian pujian itu menghimbau agar umat menyambut kejadiranNya sekaligus memberikan gambaran bagaimana menyambut kehadiran Tuhan itu.

Siapakah yang akan datang itu? TUHAN, Allah Israel. Siapakah Dia? Dia adalah Raja Kemuliaan. Demikian pemazmur menyebut tentang Allah. Bahwa Allah harus dipandangkan sebagai Raja. Raja pasti mulia, tetapi jika disebut bahwa raja ini adalah Raja Kemuliaan, maka itu bermakna Raja di atas segala raja. Bagaimanakah menyambut Raja Kemuliaan itu? Pemazmur memberikan dua cara secara berurutan yang diulang pada ayat 7 dan 9. Cara menyambut-Nya adalah dengan “Angkatlah kepala” dan “Terangkatlah pintu yang berabad-abad”. Apa maksud kalimat-kalimat itu?

1.      Angkatlah kepala
Yerusalem sebelum menjadi ibukota kerajaan Israel, wilayah ini juga dikuasai Filistin. Umat Israel menjadi “bulan-bulanan” Filistin pada masa itu. Bagaikan orang yang kalah, demikian kepala tertunduk penuh dengan kepedihan. Namun, ketika Raja di atas segala raja datang, yakni Raja Kemuliaan, maka mereka yang menyerah, tertunduk dalam kekalahan dan terpuruk pada kondisi yang tidak menggenakkan, diminta berhenti berkabung, melainkan mengangkat kepala tanda menang ketika Raja Kemuliaan itu datang.

Hal ini bermakna, menyambut kehadiran Raja Kemuliaan, harusnya dilakukan dengan girang, tanpa ragu namun dengan optimisme tinggi sebagaimana simbol kepala ditegakkan. Sukacita kemenangan harusnya menjadi warna khusus cara menyambut kemuliaan Sang Raja di atas segala raja itu. Tidak ada lagi kepedihan, yang ada adalah kepastian dalam kemenangan. Mengapa? Sebab yang datang ini adalah Pribadi yang jaya perkasa, yakniA TUHAN yang berkasa dalam peperangan (ay.8).

2.      Terangkatlah pintu
Pintu apakah itu? Tiap orang atau rombongan yang akan memasuki kota, wajib berhenti sejenak untuk menunggu pintu gerbang kota terbuka sebagai tanda bahwa rombongan ini diterima. Menariknya, pemazmur mengunakan kalimat seru sebagai tanda perintah agar mereka segera masuk. Dan bunyi perintah itu bukan: “terbukalah pintu” melainkan ia menyebut kalimat: “terangkatlah pintu-pintu”. Memerintahkan pintu-pintu yang sudah ada berabad-abad di situ untuk terangkat dan bukan terbuka menunjuk pada makna: “hilangkan pintunya, tidak usah memakai pintu lagi”.

Apa maknanya? Bahwa selebar apapun pintu itu dibuka, ia tidak sanggup terbuka lebih lebar lagi menyambut kemuliaan Raja Kemuliaan yang Mahabesar itu. Pintu-pintu itu tidak sanggup menandingi besarnya kemuliaan TUHAN, Allah Israel yang Mahamulia. Pintu-pintu yang dibangun oleh tangan manusia itu tidak cukup layak untuk “menyambut dan mempersilakan masuk” TUHAN, Allah yang MahaAgung itu.


RELEVANSI DAN APLIKASI
Pokok-pokok pikiran yang dapat menjadi bahan relevansi Firman ini bagi kehidupan umat percaya adalah:
1.      Daud memulai Mazmur ini dengan memperkenalkan siapa TUHAN Allah Israel. Perhatikanlah bahwa yang menang perang itu adalah Raja Daud. Maka sejogia-nya yang dielukkan ketika memasuki kota adalah Raaj yang menang perang. Tetapi itu tidak dilakukan Daud. Nama prbadinya tidak ia sebutkan samasekali. Sebaliknya ia hanya menyebut nama TUHAN Allah Israel dan memberi pengakuan bahwa yan raja itu bukan Daud tetapi Allah yakni Raja di atas segala raja.

Seharusnya menjadi penting bagi kita untuk tidak ‘salfok” (salah fokus), yakni apapun alasannya, TUHAN harus tetap menjadi fokus pujian dan pemuliaan. Jangan sedikitpun mengambil “hak” Tuhan ini. Dialah yang layak ditingikan dan diagungkan, dan bukan kita.

2.      Menyambut kehadiran Tuhan dalam hidup ini haruslah melalui pengakuan bahwa Dialah Raja kemuliaan, Raja di atas segala raja. Sehingga tahta hati kita sekalipun, singgasananya adalah milik Tuhan. Dialah yang harus bertahta di hati kita dan buka diri dan ego kita.

Di sisi lain, menyambut Tuhan itu harusnya dengan kegirangan. Siapapun yang sedang alami “kekalahan”, harusnya dengan kehadiran Sang Perkasa dalam peperangan, kondisinya menjadi berubah yakni bermental sebagai orang yang menang. Jika Allah hadir, sambutlah dengan kemenangan, angkatlah kepala sebagai tanda siap mengalami kehadiranNya.

3.      Tidak ada yang layak menandingi kemuliaanNya. Gerbang berabad-abad adalah simbol telah banyak pengalaman, acapkali berguna dan diperlukan, kekadirannya dibutuhkan dll. Kehebatan gerbang penyambut megah penyambut tamu ini dipadang tidak layak menyambut kehadiran yang Mahamulia.

Pemahaman ini harusnya menjadi pemahamn orang percaya. Bahwa kita masih bisa melayaniNya, itu karena dilayakkan Tuhan; kita masih bisa memuji namaNya itupun bukan karena kita layak, tapi dilayakkan Tuhan; kita masih bisa beribadah, itu bukan karena kita berkorban atur waktu dan sisikan tenaga ekstra untuk datang bersekutu. Tidak,.!! Kita bisa bersekutu, karena ia layak menerima persekutuan kita.