Wednesday, November 7, 2018

EFESUS 5:22-33


MENJALANI PERKAWINAN MELALUI TELADAN KRISTUS
Bahan Khotbah Ibadah PKP
15 November 2018


PENGANTAR
Membangun hubungan antara suami-istri dalam suatu ikatan perkawinan terkesan mudah namun sulit untuk menjalaninya. Siapapun saudara yang sudah menikah pasti mengerti apakah maksud dari pernyataan di atas. Menyatukan berbagai perbedaan antara suami-istri dalam satu wadah yakni lembaga perkawinan sehingga tetap langgeng hingga maut memisahkan adalah tantangan yang sulit untuk dihadapi. Diperlukan kesabaran, kesungguhan cinta kasih, dan pengertian untuk mampu menjadi pasangan yang baik antar keduanya. Pepatah: “asam di gunung; garam di laut menyatu dalam belanga” sering dijadikan analogi bagaimana hubungan suami istri itu menyatu dalam kepelbagaian budaya dan karakter masing-masing. Namun, sekali lagi, semuanya tidak semudah asam dan garam bercampur dalam belanga. Bukan saja butuh pengorbanan dan usaha keras untuk menjalaninya, tetapi juga perlu memahami dengan bijak bagaimana seharusnya relasi atau hubungan suami-istri itu dibangun.

Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus menguraikan dengan rinci bagaimana seharusnya posisi dan relasi antara suami-istri itu dipahami. Menurut Rasul Paulus, suami-istri ketika membangun hubungan satu dengan yang lain dan memposisikan diri dan pasangan masing-masing harus bercermin pada hubungan Kristus dan jemaat (bd. ay.32). Bagaimanakah memahami hubungan suami-istri yang bercermin pada hubungan Kristus dan jemaatNya? Walaupun menurut SBU, ayat yang dibahas ahanya pada 31-33, maka ada baiknya keseluruh ayat yakni 22-33 menjadi fokus bacaan kita saat ini. Mari perhatikan detail uraian Paulus di bawah ini. 



PEMAHAMAN TEKS
Pada pasal 5:22-33 Paulus menguraikan tentang bagaimana seharusnya sikap seorang suami dan istri terhadap pasangannya masing-masing. Relasi yang dibangun antara suami-istri, menurut Paulus haruslah mendasarkan pada hubungan Kristus dan jemaat sebagaimana diuraikan di atas. Ada beberapa pokok penting yang perlu dijelaskan terhadap uraian Paulus dalam ayat 22-30 bacaan kita ini, yakni:

1.      Perhatikanlah bunyi ayat 22 pasal 5 dalam surat Efesus ini. Paulus menulis: Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Apabila membaca pernyataan Paulus ini dengan cara melepas konteksnya, maka sudah pasti pernyataan ini lebih sering memunculkan sentimen gender. Dengan redaksi ini para suami yang tidak bertanggung jawab sudah pasti menggunakan ayat ini untuk menuntut ketundukan yang absolut dari istrinya.

Ayat 22 ini harus dibaca dalam terang pemahaman ayat 21. sebab ayat pada ayat 22 istilah tunduklah dalam teks asli tidak ditemukan, tetapi diambil pada ayat sebelumnya yakni pada ayat 21. Maka dalam poemahaman ayat 21, kita mengherti ayat 22 dengan pengertian yang jelas, yakni: Setiap orang yang telah diselamatkan dan menjadi kesatuan dengan Kristus haruslah saling merendahkan diri satu dengan yang lain sebagai wujud takut akan Kristus atau ketaatan kepada Kristus (ay.21). Hal inipun berlaku bagi seorang Istri kepada suaminya (ay.22).

Kesediaannya untuk tunduk atau merendahkan dirinya kepada suami ditunjukkan sebagai wujud ketaatan kepada Kristus. Ketaatan kepada Kristus adalah alasan yang utama seorang Istri bersikap hormat dan tunduk kepada suami. Itulah pemahaman yang tepat dari ayat 22 dalam kesatuan makna dengan ayat 21 tadi, sehingga sentimen gender dapat dihindari.

Pengertian ayat 22 di atas sekaligus memaknai secara benar arti dari kalimat “seperti kepada Tuhan”. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa seorang istri dituntut untuk tunduk kepada suami karena suami adalah Tuhan. Tidak juga kemudian memberi kesan bahwa suami adalah tuhan kecil dalam rumah tangga. Namun seorang istri tunduk dan menghormati suaminya dalam kesadaran bebas tanpa paksaan sebagai ekspresi iman yang sangat mengasihi Kristus dan taat pada kehendakNya.

Pemaknaan ini sekaligus memberikan pengertian pada kewajiban istri dalam ayat 24 yang harus tunduk kepada suami dalam segala sesuatu. Kalimat segala sesuatu bukan berarti membenarkan segala hal yang dilakukan suami yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Segala sesuatu tidak pernah dimaksud bahwa istripun harus patuh pada tuntunan dan arahan suami yang tidak benar dan membawanya pada kehidupan dosa. Jika kondisi ini terjadi, maka istri harus tetap berpegang pada “di dalam takut akan Kristus”. Artinya, hormat dan tunduknya seorang Istri ada dalam ketaatannya pada Kristus. Sehingga istri akan memilih taat pada kehendak Kristus dari pada melakukan dosa karena mengikuti kehendak suami.

2.      Bagaimana dengan kewajiban suami? Paulus menyatakan dalam ayat 25 sbb: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya...”  Kesan yang ditangkap dari ungkapan ayat 25 ini jika dihubungkan dengan tugas suami dan istri adalah “tidak seimbang”. Seakan tugas istri sangat berat yakni harus tunduk kepada suami, sedangkan tugas suami cendrung ringan yakni “hanya” mengasihi istri.

Benarkah demikian? Perhatikanlah lebih seksama kalimat pada ayat 25 ini. Suami diperintahkan untuk mengasihi istri. Istilah mengasihi ini dalam bah. Yunani adalah ἀγαπάω (baca: agapao) dari kata dasar agape (kasih). Istilah ini memiliki makna yang cukup dalam, bukan sekedar mengasihi atau mencintai. Istilah agape atau agapao itu sendiri penggunaannya dalam Perjanjian Baru bukan langsung berasal dari Yunani klasik tapi lebih cenderung dari LXX / Septuaginta (terjemahan PL dalam bah.Yunani), yakni אָהַב (‘ah’ev = Kasih) yang menggambarkan keagungan dan ketulusan kasih Allah kepada manusia (bd. Hos.11:1-4). Itulah sebabnya Paulus menyebut bahwa bentuk nyata Kasih Kristus kepada jemaatNya adalah lewat menyerahkan (παραδίδωμι = paradidomi = memberi) diriNya (ay.25) sebagai wujud keagungan dan ketulusan Kasih Allah. Jadi puncak tertingi dari Kasih Allah bagi umatNya adalah lewat pemberian diriNya bagi dunia. Menyerahkan DiriNya adalah adalah bentuk kongkrit dari kasih Allah.

Apabila seorang suami diperintahkan untuk mengasihi istrinya, itu bukanlah perintah yang “ringan” dan kurang sepadan dengan perintah kepada istri yang harus tunduk (hupotasso: merendahkan diri; menempatkan diri di bawah) pada suaminya. Sebab kualitas mengasihi dari seorang suami kepada istrinya harus bercermin pada Kasih Kristus untuk jemaatNya. Oleh karena bentuk nyata kasih Kristus kepada jemaatNya lewat menyerahkan (paradidomi = memberi) diriNya (ay.25) maka suami yang mengasihi istri berarti pribadi yang bersedia menyerahkan dirinya pada istrinya. Seorang yang menyerahkan diriya kepada orang lain adalah pribadi yang bersedia juga untuk merendahkan diri pada orang lain itu (termasuk kepada istrinya).


Klimaks dari hubungan suami istri itu berpuncak pada pemahaman bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Istri tunduk kepada suami karena Kristus; demikian juga suami mengasihi istri karena Kristus, dengan demikian peran dan fungsi mereka disatukan dalam Kristus pada ikatan Kasih Kristus yang agung yang telah mengasihi jemaatnya termasuk suami dan istri itu. Inilah yang dimaksud dalam ayat 28-30, terutama ayat 31-33 bacaan kita. Suami Istri disatukan dalam Kasih Kristus. Kesatuan itu digambarkan bagaikan kesatuan tubuh dimana Kristus adalah kepalanya dan jemaat adalah tubuhNya (ay.32). Maka yang utama dari seluruh relasi dalam perkawinan adalah meneladani Kristus Yesus yang bersedia dengan totalitas mengasihi dunia dan berkorban bagi dunia. Demikianlah suami istri mencontohi hidup dan teladan dari Kristus (ay.33)


RELEVANSI - APLIKASI
Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah hadirnya berbagai perselisihan atau percekcokan dalam hidup rumah tangga. Penyebab paling utama dan umum adalah karena berbagai perbedaan yang lebih ditonjolkan dan bukan kesatuan sebagai jatidri baru suami istri. Para suami istri kadang menjadi lupa bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu tidaklah heran jika dalam keluargapun terjadi kompetisi atau bersaingan untuk mengejar pengakuan soal keunggulan dan kelebihan masing-masing. Tanpa sadar suami istri menjadikan rumah tangga sebagai gelanggan pertandingan untuk menentukan siapa yang kalah atau menang. Kekalahan dianggap suatu kegagalan dan sebaliknya kemenangan adalah suatu keberhasilan diri.

Lewat bacaan ini Paulus mengingatkan bahwa suami istri bukan lagi dua pribadi. Mereka memang berbeda tetapi telah menjadi satu. Kesatuan mereka terletak pada ketaatan di dalam takut akan Tuhan. Karena itu marilah saling mengasihi. Bersedialah untuk memberi diri bagi pasangan masing-masing demi kebahagiaan bersama dan bukan kesenangan diri. Sebab suami istri adalah satu dalam kasih Tuhan. Rendahkanlah diri seorang kepada lain di dalam takut akan Tuhan supaya istri dapat dengan tulus dan kerelaan menghormati suaminya dan selanjutnya suamipun dapat dengan kesungguhan mengasihi istrinya. Perbedaan akan selalu ada, namun betapa indahnya jika perbedaan itu dapat disatukan dalam kasih Kristus. Selamat menjadi satu dalam kasih Kristus di tengah perbedaan masing-masing. Amin.