Monday, September 3, 2018

KISAH RASUL 6:8-12 FITNAH MERENGUT NYAWA


Bahan Bacaan Alkitab Hari Minggu
09 September 2018

PENGANTAR
Kita sering mendengar suatu pernyataan: “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Pernyataan ini terkesan berlebihan, sebab bagaimana mungkin memfitnah lebih fatal daripada menghlangkan nyawa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan bahwa Fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (spt menodai nama baik, merugikan kehormatan orang): — adalah perbuatan yg tidak terpuji;”

Jika memperhatikan definisi di atas, maka fitnah setara dengan juga membunuh karakter seseorang dan menghancurkan nama baik seseorang di depan khalayak ramai. Fatal? Tentu saja. Bahkan dengan mengfitnah, orang lain yang menjadi korban bisa jadi mengalami pembunuhan dan atau berakhir pada kematian ketika karena fitnah itu ia dihukum oleh massa secara brutal.

Hari ini, kita membaca kisah tentang Stefanus yang di Fitnah. Kisah ini bermula pada pasal 6:1-7 ketika tujuh orang dipilih sebagai Diaken untuk melayani orang miskin, satu dari tujuh orang itu adalah Stefanus. Nama ini dalam bahasa Yunani: Στέφανος (Stephanos) berarti “Mahkota”. Ia kemudian dipenuhi oleh kuasa dan karunia untuk mengadakan banyak tanda dan mujizat sambil memberitakan Injil (6:8), namun karena pemberitaannya itu, Stefanus di tangkap.



TELAAH PERIKOP
Bagaimana awal kisah dari peristiwa ini yang berakhir pada pembataian masal terhadap Stefanus? Berikut ini beberapa pokok penting yang perlu di telaah dari kisah Stefanus.
1.      Tidak ada yang dapat menandingi kuasa Roh Kudus  (ay.8-10)
Dokter Lukas sebagai penulis kitab ini memulai dengan pernyataan yang menarik, yakni Stefanus penuh dengan: Karunia dan Kuasa. Istilah Karunia berasal dari bah. Yunani χάριτος (kharistos) yang berarti pemberian cuma-Cuma atau karunia. Dalam teologi Kristen istilah karunia dipahami sebagai pemberian Allah bagi orang yang bercaya yang berhubungan dengan kuasa Roh Kudus, sehingga istilah ini sering disebut dengan karunia Roh Kudus (bd. 1Kor.12:1-11). Jika demikian, kita memahami bahwa kuasa yang dimiliki oleh Stefanus untuk membuat tanda-tanda mujizat berasal dari Allah melalui karunia Roh Kudus.

Sudah pasti tidak ada yang dapat menandingi kuasa Roh Kudus yang ada pada diri Stefanus. Hal inilah yang terjadi ketika orang-orang Jemaat Libertini yang anggota jemaatnya berasal dari Kirene dan Aleksandria bersoal jawab dengan Stefanus (ay.9). Mereka tidak sanggup menandingi hikmat dan kemampuan debat yang dimiliki Stefanus. Apakah karena Stefanus luar biasa hebat? Tentu tidak! Ayat 10 bacaan kita memberikan konfirmasi penting. Bahwa sesungguhnya para pendebat itu bukan menghadapi Stefanus tetapi menghadapi Hikmat dan Roh Kudus yang ada pada Stefanus.

2.      Akibat Sulit Menerima Kekalahan (ay.11,12)
Sayang sekali Alkitab tidak memberikan informasi tentang pokok debat yang yang menjadi tema soal-jawab di antara mereka. Namun jika kasus ini kemudian diajukan kepada Mahkama Agama, maka dapat diduga bahwa pokok pembicaraan mereka berhubungan dengan keyakinan agama Yahudi. Bahkan jika merujuk isi pembelaan Stefanus di pasal 7:1-53, maka kita smakin diyakinkan bahwa isu yang diangkat oleh mereka adalah isu agama.

Kekalahan yang dialami oleh mereka yang bersoal jawab dengan Stefanus ternyata tidak berakhir di ruang diskusi. Rupanya kelompok orang2 Kirene dan Aleksandria ini “tidak bisa menerima kekalahan” sehingga melanjutkan hal ini ke tingkat yang lebih formal, yakni Mahkama Agama. Bagaimana mereka melakukannya?

Untuk diketahui, Mahkamah Agama , adalah sistem pemerintahan tertinggi dari bangsa Yahudi pada zaman Yunani-Yahudi. Mahkamah Agama merupakan Badan legislatif agung di Israel. Juga sering disebut "Sanhedrin", dari kata Yunani: συνέδριον (Sunedrion), yang dalam aksara Ibrani: סַנְהֶדְרִין  (Sanhendrin) atau Majelis Sanhendrin. Mereka juga sering disebut dengan "Senat" (γερουσία, baca=gerousia) atau Majelis tua-tua bangsa Israel (Kisah 5:21; 22:5). Mereka terdiri dari 71 orang di bawah pimpinan Imam Agung (Berdasar pada Keluaran 24:1,9; Bilangan 11:16), yang anggotanya berasal dari tiga golongan yakni: 1. Para Penatua (wakil rakyat yang paling terpandang dan tidak berasal dari keturunan imamat); 2. Para Imam Agung (para bekas Imam Agung yang tidak menjabat lagi dan para anggota dari empat keluarga yang biasanya mencalonkan dirinya menjadi Imam Agung; bdk.: Kisah 4:5-6); dan 3. Para ahli Kitab Suci (kebanyakan dari golongan orang-orang Farisi).

Mengapa kasus Stefanus dibawah kepada Mahkamah Agama? Sebab yang dituduhkan kepada Stefanus memang menyangkut masalah agama. Orang-orang yang kalah itu mengucapkan tuduhan yang sifatnya fitnah dan hasutan kepada banyak orang bahwa “Stefanus telah menghujat Musa dan Allah”. Bahkan pada ayat 13 kita menemukan upaya mereka memprovokasi dengan memutar balikkan perkataan Stefanus (ay.14) bahwa Stefanus menghina bait suci dan hukum Taurat. Tuduhan ini sangat serius. Sehingga Mahkamah Agama perlu untuk bersidang.

Kalah debat ini berakhir pada fitnah keji terhadap Stefanus. Mereka sulit menerima kekalahan, tak mampu menanggung malu pada kenyataan terhina di depan umum. Akibatnya, demi “membalikkan keadaan” dan memulihkan nama baik, fitnah dan upaya “kotor” mereka lakukan.


RELEVANSI DAN APLIKASI
Berdasarkan uraian di atas tentunya ada banyak hal yang dapat direlevansikan atau diaplikasikan Firman Tuhan ini dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa diantaranya mengenai:
1.   Mengapa sehingga Stefanus penuh dengan Karunia dan Kuasa untuk mengadakan banyak tanda dan mujizat? Hal ini disebabkan karena para Rasul ketika memilih 7 (tujuh) orang Diaken ini (termasuk Stefanus), harus memenuhi syarat yaitu: terkenal baik, penuh Roh dan Hikmat (ay.3). Seorang pelayan dipilih oleh karena memenuhi kualifikasi sesuai dengan standart alkitabiah. Stefanus telah dikenal banyak orang sebagai pribadi yang baik. Ia tidak dipilih karena status sosial di tengah masyarakat (kedudukan, harta dan jabatan), melainkan track recordnya tak bercela menurut banyak orang.

Sangat disayangkan jika kemudian trend ini bergeser pada proses melibatkan seseorang di gereja modern. Acapkali yang dipilih adalah orang tertentu yang punya posisi di masyarakat, cukup terkenal tapi belum tentu dikenal karena kehidupannya yang baik. Bahkan ada juga mereka “dipaksa” menjadi pelayan “karena aji mumpung”, yakni mumpung dia mau, mumpung gak ada lagi orang, mumpung dia teman dekat, mumpung kesempatan supaya dia rajin dll. Spiritualitas Stefanus teruji mumpuni. Demikian seharusnya para pelayan Tuhan.

2.    Beda pendapat pasti akan terjadi dalam interaksi pelayanan dan persekutuan. Sebab dalam persekutuan dan pelayanan yang melibatkan banyak orang, sudah pasti akan banyak pula pendapat beragam. Diperlukan kedewasaan untuk menyikapi beda pendapat dan perselisihan itu. Dalam pelayanan dan kehidupan persekutuan tidak ada istilah kompetisi (bersaing kehebatan), justru yang harus dikedepankan adalah bersinergi satu dengan yang lain untuk saling memberi apresiasi (menghargai) sebagai sesama pelayan atau orang percaya. Jika tidak, maka dapat ditebak! Yang ada adalah penolakan, sakit hati, yang berujung pada saling menjatuhkan.

Belajar dari kisah Stefanus dan para pendebatnya, kita diingatkan untuk bisa menerima kelebihan orang lain, bukan sebagai kekalahan diri melainkan kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri supaya dapat seperti orang itu. Hati perlu membuka ruang pada pengampunan untuk menepis pergesekan, tidak mudah terpancing amarah dan kemudian membabi buta, dan atau sakit hati sehingga menjadi kepahitan dalam diri dan kemudian melihat yang lain sebagai musuh yang layak untuk dihancurkan. 

Kita juga perlu berhati-hati bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang cendrung untuk mencari alasan atas nama agama demi menjatuhkan dan menyudutkan kita. Agama dipolitisasi sedemikian rupa, fitnah menjadi alat ampuh untuk membunuh karakter seseorang. Bahkan "penistaan agama" menjadi trend masa kini dan senjata pamungkas untuk memperoleh keinginan dan pembenaran diri. Amin.