Monday, September 24, 2018

YAKOBUS 2:21-26 IMAN TANPA PERBUATAN ADALAH MATI


Bahan Kotbah Ibadah Rumah Tangga
Rabu, 26 September 2018

A. LATAR BELAKANG NATS

Surat ini ditujukan kepada orang Kristen Yahudi diaspora yakni mereka yang tersebar dalam perantauan. Yakobus menujukan surat ini kepada duabelas suku yang telah percaya kepada Yesus Kristius (1:1).

Sepertinya, Yakobus melihat berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh jemaat Tuhan ini dengan cara umum, yakni tentang perbagai pencobaan hidup yang harus mereka alami sebagai kaum pendatang maupun pencobaan iman sehubungan dengan status mereka sebagai orang percaya (1:2-18); bagaimana seharusnya sikap orang percaya berhubungan dengan Firman Tuhan yang telah mereka terima (1:19-27); relasi dan interaksi dalam jemaat maupun di luar jemaat (2:1-13; 3:1-18); iman yang harusnya diejawantahkan dalam perbuatan (2:14-26); dan beberapa pokok penting yang berhubungan dengan tindakan, cara hidup serta sikap yang harus dilakukan oleh seorang yang percaya kepada Yesus Kristus (4:1-5:20).

Pada perikop pasal 2:21-26, Yakobus memberikan penjelasan tentang bagaimana pentingnya perbuatan yang menyokong iman setiap orang percaya. Teks ini sebaiknya dibaca keseluruhan perikop, yakni ay 14-26, untuk memahami secara mendalam  Firman Tuhan ini.

B. TELAAH PERIKOP
Untuk lebih memahami ayat 21-26, maka sebaiknya keseluruh perikop ini dipahami sebagai suatu kesatuan. Rupanya jemaat penerima surat ini sedang bertentang mengenai iman dan perbuatan. Apakah yang menjamin keselamatan, iman atau perbuatan? Demikian barangkali persoal yang ada pada saat itu. Yakobus memberikan wejangan yang menarik ketika memperhadapkan iman dengan perbuatan. Menurut Paulus, iman tidak berguna tanpa perbuatan (ay.14) bagaikan kepedulian dalam kata namun tidak dilaksanakan dalam laku yang nyata (ay.15-17). Rupanya banyak jemaat pada waktu itu beragumentasi untuk lebih mementingkan iman dari pada perbuatan (ay.18), sehingga Yakobus menantang mereka dengan membandingkan dengan setan yang percaya ada satu Allah saja dan mereka gemetar, namun setan tidak tunduk kepada Allah (ay.19). Untuk memperjelas pentingnya perbuatan benar selain iman kepada Allah, Yakobus mengambil contoh dua orang tokoh berbeda yakni Abraham dan Rahab.


1.      Abraham (ay.21-24)
Abraham adalah tokoh panutan Israel, dan menjadi bapa leluhur mereka. Ia dikenal sebagai Sahabat Allah. Yakobus memberikan kesaksian tentang seberapa dalam hubungan Abraham dengan Allah melalui pernyataannya: ..."Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah." (Yak.2:23). Istilah yang dipakai Yakobus untuk frasa Abraham adalah sahabat Allah yakni αβρααμ φιλος του θεου. Istilah φιλος (philos)[1] yang berarti kekasih, yang dikasihi, sahabat (LAI memilih menerjemahkan dengan istilah sahabat).

Mengapa Abraham menjadi Sahabat Allah (yang dikasihiNya)? Hal ini tentu tidak instan. Ada proses penting yang dilalui Abraham. Abraham taat pada panggilan. TUHAN Allah memanggil Abraham dan berkata: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu...” (Kej,12:1,2). Istilah yang dipakai adalahלךְ־לְךָ֛  (lekh-lekha) yang secara harfiah berarti “Jalan-berjalanlah kamu!”. Istilahלךְ־לְךָ֛  (lekh-lekha) bermakna perintah yang sifatnya tegas dan kasar.[2] Apa reaksi Abraham? Ia tidak bertanya mengapa dan atau kemana arahnya, tetapi langsung mengerjakannya (bd. Kej.12:4). Tindakan Abraham ini disebut dengan ketaatan yang sungguh. Bahkan hal dramatis terjadi ketika harus mempersembahkan Ishak (ay.21), Abraham dengan rela membawa anak satu-satunya itu untuk dipersembahankan.

Semua pasti setuju bahwa iman Abraham sungguh luar biasa. Tapi darimana mengetahui bahwa iman Abraham itu luar biasa? Tentunya dari ketaatannya melaksanakan apapaun yang Tuhan mau dan perintahkan. Hal itu disebut dengan perbuatan iman. Jadi, iman hanya dapat dilihat dari perbuatan iman. Jika perbuatan bertentangan dengan iman maka sesungguhya iman itu mati (ay.17). Sebab perbuatan iman membuat iman menjadi sempurna (ay.23). Dengan kata lain, Abraham dibenarkan oleh perbuatannya dan bukan hanya oleh iman saja (ay.24). Penggunaan istilah “hanya” oleh Yakobus ini untuk memberikan penekanan bahwa Iman SANGAT dibutuhkan untuk membuat orang dibenarkan, tetapi JUGA SANGAT perlu melakukan tindakan atau perbuatan yang menggambarkan iman itu supaya juga dibenarkan.


2.      Rahab (ay.25-26)
Rahab dalam bahasa Ibrani רחב  (Rakhab), lebar. Ia adalah seorang perempuan sundal yang rumahnya di atas tembok kota Yerikho (Yos.2:1). Ia yang menyelamatkan dua orang Israel yang menjadi pengintai (mata-mata). Mata-mata Yosua menginap di rumahnya, disembunyikannya terhadap polisi kota dengan cara ditutupi batang jerami di atas sotoh. Sesudah menyusun jejak palsu untuk polisi, Rahab membuat perjanjian dengan mata-mata itu. Oleh karena itu Rahab dan keluarganya tetap dilindungi keselamatan hidupnya. (Yos.2:1-21).

Menarik bahwa tokoh ini diangkat oleh Yakobus sebagai contoh orang yang dibenarkan? Tetapi bukankah ini ada yang aneh? Bukankah Rahab adalah orang yang tidak percaya? Lalu mengapa ia dibenarkan? Bukankah untuk dibenarkan seperti Abraham, bukan hanya modal perbuatan, tetapi juga modal Iman (sebab Abraham beriman kepada Allah). Bagaimana dengan Rahab? Hal ini perlu diluruskan!

Bahwa benar, bukan turunan Abraham dan sangat mungkin tidak mengenal TUHAN, Allah Abraham. Tapi benarkan ia tidak percaya kepadaNya? Perhatikan perkataan Rahab dalam Yosua 2:9-11 "Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu…, sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah.”. Apa yang diucapkan Rahab sesungguhnya adalah perkataan iman dan kemudian disertai dengan perbuatan benar, yakni menyelamatkan parah pengintai itu. Maka tidak diragukan lagi bahwa Rahab telah beriman kepada TUHAN, Allah Abraham sebagaimana dikonfirmasi oleh penulis kitab Ibrani 11:13 dan sekaligus melakukan perbuatan iman sehingga ia dibenarkan untuk diselamatkan.

C. RELEVANSI DAN APLIKASI
Silakan susun Aplikasi Khotbah berdasarkan uraian diatas. Ide pokok adalah mengajak jemaat untuk memahami pentingnya perbuatan iman atau perbuatan yang benar untuk menunjukkan iman percaya kita kepada Allah. Jangan hanya percaya pada Kasih Allah tetapi kita tidak menunjukkan perbuatan kasih itu bagi orang lain. Jika kita percaya bahwa Allah maha pengampun, maka harusnya pula kita sedia mengampuni orang lain. Perbuatan yang nyata akan semakin menyempurnakan iman kita.


[1] Philos merupakan kata benda yang juga berfungsi sebaga kata keterangan. Istilah ini setara dengan istilah Ibrani diterjemahkan dengan אֹהֵב יְהוָֹה - 'Oheb 'Adonay (yang dikasihi YHWH = sahabat dari YHVH). Dalam perjanjian Baru, istilah Philos selalu diterjemahkan dengan istilaha Sahabat dengan makna yang dikasihi. Untuk selasnya tentang istilah ini silakan melihat penjelasannya pada:   http://www.sarapanpagi.org/philos-sahabat-yang-dikasihi-studi-kata-bahasa-yunani-vt176.html#p360

[2] Pada umumnya Istilahלךְ־לְךָ֛  (lekh-lekha) ini merupakan suatu kalimat langsung yang ditujukan seseorang untuk segera melaksanakannya tanpa menunda waktu. Itulah sebabnya pengulangan kalimat perintah menjadi penting dalam menerjemahkannya.

1 SAMUEL 13:1-12 JANGAN MENGANDALKAN PIKIRAN


1 SAMUEL 13:1-12
JANGAN MENGANDALKAN PIKIRAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Minggu
30 SEPTEMBER 2018

PENGANTAR
Saul merupakan raja pertama di Israel. Dalam bahasa Ibrani, nama Saul (שָׁאוּל = Sya’ul; baca: Saul) berarti “yang diminta”. Ia adalah putra Kisy dari suku Benyamin yang oleh Samuel diurapi menjadi Raja secara sembunyi-sembunyi (10:1) dan secara resmi diumumkan di hadapan umum melalui upacara di Mizpa (10:17-25).

Kisah ini bermula dari pasal 10:8, yakni setelah Saul diurapi oleh Samuel. Nabi ini berpesan kepadanya: “… Engkau harus pergi ke Gilgal mendahului aku, dan camkanlah, aku akan datang kepadamu untuk mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan. Engkau harus menunggu tujuh hari lamanya, sampai aku datang kepadamu dan memberitahukan kepadamu apa yang harus kaulakukan.". Maksud dari pemberian pesan tersebut adalah tangung-jawab Samuel-lah untuk mempersembahkan korban bakaran kepada TUHAN, Allah Israel. Tugas keimaman ini adalah wewenang Samuel dan bukan Saul.

Rupanya perintah sederhana ini gagal ditaati Saul, sehingga di mata TUHAN, melalui mulut Samuel, Saul dianggap cacat dan melanggar perintah Allah.

TELAAH PERIKOP

Mari memperhatikann runtut kisah ini, untuk mengetahui bagaimana hingga Saul melanggar perintah Samuel tersebut yang kemudian berdampak buruk pada karir dan jabatannya sebagai raja pertama di Israel.

1.      Kemampuan strategi perang Saul (ay.1-3)
Kemampuan memimpin perang dan semangat membela bangsanya, tidak perlu diragukan pada diri Saul. Hal ini terlihat dalam kisah sebelumnya ketika ia berhasil mengalahkan bangsa Amon yang mengancam kita Yabets-Gilead (lihat pasal 11:1-11). Bahkan raja Saul dalam kemenangan itu tidak menjadikan ia sebagai raja yang arogan, melainkan justru murah hati. Hal ini terlihat ketika ia tidak meluluskan keinginan pengikutnya untuk membunuh mereka yang menentang Saul sebagai raja (11:12-13).

Kemampuan strategi perang Saul terlihat juga pada bacaan kita ketika ia hendak berperang melawan Filistin di usia 2 tahun sebagai raja (ay.1). Ia membagi pasukan yang berjumlah 3000 orang itu ke dalam dua regu pasukan, yakni 2000 orang bersamanya di Mikhmas dan 1000 orang bersaman Yonathan (anaknya) di Gibea (ay.2).

Strategi ini berhasil baik. Saul melalui pasukan Yonathan berhasil memenangkan perang di daerah Geba dan memukul kalah orang Filistin (ay.3). Hal ini menyukacitakan Saul, sehingga kemenangan ini diumumkan ke seluruh orang Ibrani yang dipanggil berkumpul melalui bunyi Sangkakala.

2.      Merayakan kemenangan memicu peperangan baru (ay.4-5)
Selanjutnya berita ini tersebar dan meluas hingga sampai ditelinga orang Filistin. Reaski mereka jelas, yakni marah dan merencanakan perang balasan atas kekalahan yang dialami. Jumlah pasukan besar dikerahkan untuk membalas kekalahan di Gibea itu. Tidak tanggung-tanggung, pasukan yang dikumpulkan 6000 orang pasukan berkuda dengan 3000 kereta perang dan bahkam penulis kitab Samuel ini menyebut jumlah pasukan berjalan kaki sebanyak sebanyak pasir di laut (ay.5)


3.      Dampak dari kepanikan yang berlebihan (ay.6-12)
Sudah pasti kondisi ini mengejukkan pasukan Israel. Kekuatan pasukan Filistin berhasil mendesak pasukan Israel. Apa yang terjadi kemudian? Pasukan terserak-serak, banyak yang lari menyelamatkan diri, bersembunyi di gua, bukit batu, perigi, liang batu (ay.6). Para prajurit dan rakyat yang mengikuti Saul mengalami ketakutan luar biasa. Mereka gemetar menghadapi orang Filistin (ay.7). Kondisi ini sangat manusiawi. Siapapun pasti terkejut dan takut melihat pasukan besar orang Filistin.

Walaupun tidak menyebutkan bahwa Saul takut, namun dapat dipastikan bahwa sebagai raja yang melihat kekalahan di ujung mata dan kocar-kacirnya rakyat yang ia pimpin, sudah pasti sangat mengkuatirkan Saul. Apa yang Saul buat? Inilah awal persoalannya. Dalam kepanikan itu Saul kemudian mempersembahkan korban bakaran kepada Allah (ay.9). Mengapa ia melakukannya? Karena hingga 7 hari ia menunggu Samuel, tetapi nabi itu tidak datang.

Fatalnya, ketika selesai mempersembahkan korban bakaran itu, ternyata Samuel datang dan hadir di tengah pasukan (ay.10). Sebagaimana disebutkan dalam pengantar tadi, Saul mendapat perintah untuk menungu Samuel di Gilgal selama 7 hari, dimana Samuel akan mempersembhakn korban di tempat itu dan memberikan petunjuk apa yang akan dilakukan Saul selanjutnya (10:8). Kenyataannya, Saul tidak mengindahkan perintah itu. Mengapa Saul melanggar perintah? Mengapa ia tidak menunggu Samuel? Paling tidak ada beberapa alasan, yakni:

Pertama, Kepanikan Saul. Siapa yang tidak panik dan takut. Raja yang baru saja 2 tahun memerintah, raja pertama yang masih belia dihadapkan dengan kehancuran kerajaan yang baru dibentuk itu. Bukan hanya Saul yang panik, tetapi juga seluruh rakyatnya. Kepanikan masal mungkin adalah istilah yang tepat untuk kondisi saat itu. Sialakan bayangkan situasi yang terjadi dan pemandangan di depan mata Saul. Yang dipikirkan Saul adalah bagaimana supaya selamat menghadapi kehebatan Filistin. Sangat mungkin ia terpikir “TUHAN” sebagai jalan keluar. Sehingga tidak heran, ia kemudian berinisiatif untuk mempersembahkan korban bakaran kepada Tuhan.

Kedua, ketidak-sabaran Saul. Samuel berjanji bahwa ia akan datang ke Gilgal setelah tujuh hari (10:8). Ternyata sampai pada waktu yang ditentukan Samuel tidak datang (ay.9). Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Apalagi menungu dalam situasi yang mengerikan, terdesak dan dalam keadaan takut. Jalan pintas menjadi satu-satunya peluang untuk keluar dari masalah itu. Tidak heran jika Saul berinisiatif untuk segera mempersembahkan korban bakaran.

Andaikata Saul menungu sedikit lagi dan memiliki kesabaran yang cukup, maka peristiwa itu tidak akan terjadi. Sebab Samuel ternyata datang di hari ke-7 seusai korban bakaran itu dipersembahkan Saul. Yah… ketidak-sabaran Saul, mentalitas instan di situasi yang mendukung, membuatnya gagal untuk taat pada perintah yang tidak berat itu, yakni menungu Samuel datang.

Ketiga, Rapat Pikiran. Perhatikan jawaban Saul di ayat 11 dan 12 ketika ia ditanya Samuel alasan ia membakar korban bakaran itu. Selain karena ketakutan karena pasukan Filistin (ay.11), rupanya juga Saul sedang “rapat pikiran”,  dan berandai-andai, apa jadinya jika Samuel tidak datang. Hasil buah pikirannya adalah segera membuat korban bakaran. Saul mengandalkan buah pikirannya dan bukan mengandalkan ketaatan kepada perintah Allah melalui kesepakatannya dengan Samuel tetntang waktu tunggu tujuh hari itu.

Keempat, Tujuan baik jangan menghalalkan segala cara. Saul tidak mendapat tugas untuk mempersembahkan korban di hadapan Allah. Ia bukan imam, ia adalah raja yang bertugas memimpi umat. Tanggung-jawab untuk mempersembahkan korban adalah tanggung-jawab Samuel. Tugas suci itu hanya boleh dilakukan oleh Samuel sebagai nabi yang ditunjuk oleh Allah. Tetapi dengan harapan mencapai kemenangan atau paling tidak mampu menghadapi Filistin, Saul memberanikan diri mengambil tugas itu. Tujuannya baik, apalagi mempersembahkan korban. Tapi tujuan yang baik itu tidak berarti kemudian mensahkannya melakukan sesuai cara yang ia anggap baik. Inilah kesalahan Saul. Dan karena itu ia dianggap tidak setia pada kehendak Tuhan sehingga kemudia kelak, posisinya sebagai raja akan digantikan, sebagaimana di nubuatkan Samuel (ay.13)


RELEVANSI DAN APLIKASI (Penerapan).
1.      Saul dan perioritasnya[1]
Dalam perikop ini nyata bahwa Saul memiliki prioritas berbeda dengan apa yang Tuhan kehendaki. Menjelang pertempuran melawan Filistin, Samuel berjanji akan datang dalam tujuh hari (8), tetapi ketika Samuel belum juga tiba, Saul tidak sabar sehingga lancang mempersembahkan kurban yang bukan tugasnya. Padahal Samuel datang pada waktunya, tepat sesuai janjinya (10). Ketidaksabaran dan ketidaktaatan inilah yang menyebabkan Tuhan mencabut janji-Nya atas kelanggengan dinasti Saul (14).

Dalam ayat 11-12, tampak bahwa Saul merasa dirinya begitu superior dan dibutuhkan oleh umat - dan mungkin juga oleh Tuhan - sehingga ia merasa dibutuhkan untuk melakukan fungsi sebagai imam yang seharusnya hanya boleh dijalankan oleh Samuel. Ia memberikan alasan seolah-olah ia tengah melakukan pengorbanan pribadi dengan mengambil alih fungsi Samuel yang belum hadir. Padahal sebenarnya ia tengah bertindak impulsif, tidak sabaran, dan melakukan hal yang tidak berkenan kepada Tuhan! Ia mencoba menjadi penguasa tunggal dengan memusatkan kekuasaan politis dan agama di tangannya sehingga ia tak lagi membutuhkan kehadiran Samuel sebagai imam.

Jelas bukan persembahan yang Tuhan inginkan, juga bukan ritual keagamaan yang Tuhan cari. Yang Tuhan kehendaki ialah ketaatan kepada-Nya. Saul hanya mementingkan kemenangan politis bagi dirinya dan juga kekuasaan serta kehormatan pribadi. Ia tidak lagi menempatkan Tuhan pada nomor satu dan ketika Tuhan tidak lagi di nomor satu, Ia juga tak akan bertahan lama di nomor dua. Di nomor berapakah Tuhan bagi kita? Kiranya Tuhan tetap menjadi perioritas utama

2.      Andalkan Allah dan ketaatan padaNya, bukan pikiran sendiri!
Saul gagal dan menjadikan keterlambatan Samuel sebagai alasan dari pelanggaran itu. Analiasa dan buah pikir menjadi andalannya. Komitmen untuk melakukan apa yang disepakati dan diperintahkan Allah melalui nabi Samuel dilanggarnya. Mengapa?

Saul beralasan: “…maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran." (ay.12). Saul mengandalkan kemampuan berpikirnya, bukan keyakinan dan Iman bahwa Allah pasti hadir melalui kehadiran nabiNya itu.

Demikian juga kita. Apapun alasannya, jangan hanya kemampuan berpikir dan melihat kenyataan di depan mata yang jadi acuan kita membuat keputusan. Menanti dan menunggu jawaban Tuhan adalah hal penting untuk dilakukan. Orang yang tidak sabar justru gagal menerima pertolongan Tuhan. Inilah yang dialami Saul.




[1] Diambil dari Santapan Harian edisi: Senin 12 Mei 2014. Lihat link tautan berikut: http://renungan.stefanussusanto.org/2014/05/e-sh-12-mei-1-samuel-131-22-ketika.html

Wednesday, September 12, 2018

KEJADIAN 11:1-9 KESOMBONGAN TERHADAP ALLAH BERAKHIR BENCANA


Bahan Khotbah Ibadah Minggu
16 September 2018

PENGANTAR
Apa jadinya jika kita membangun rumah dengan beberapa tukang dari berbagai daerah dan budaya berbeda, lalu komunikasi menjadi penghalang? Ketika minta palu, yang diantar adalah batu; ketika minta gergaji yang diantar justru jeruji. Kacau bukan? Sudah pasti semua akan berantakan.

Gambaran di atas hampir sama dengan kisah pembangunan menara tinggi di Babel yang sering kita kenal dengan istilah menara Babel. Tetapi kisah tentang menara Babel ini mengandung begitu banyak makna dibanding dengan persoalan kekacauan bahasa yang terjadi saat itu.    

TELAAH PERIKOP
Kisah ini berlatar sesudah peristiwa air bah, yakni dasyatnya hantaman air yang datang menghancurkan bumi dan genangan yang begitu tinggi sehingga menenggelamkan bukit dan gunung. Hanya karena air mulai surutlah maka Nuh dan seisi bahtera terkandas di pengungan Ararat (bd. Kej.8:4). Tinggu gunung ararat itu sendiri adalah 16.945 kaki atau setara dengan 5.165 meter. Jika airbah surut lalu gunung Ararat kemudian kelihatan, maka kita dapat membayangkan tingginya airbah itu. Kisah menara Babel ini juga berlatar pada keinginan Allah untuk mengembalikan posisi pemukiman manusia di bumi, yakni “penuhilah bumi” (Kej.1:28) dengan cara mereka berpencar menurut bangsanya (bd.10:32).

Berdasarkan latar pemahaman di atas, maka mari kita memperhatikan isi perikop ini untuk menemukan pokok-pokok penting dari kisah menara Babel ini:

1.      Tujuan manusia membangun Menara Babel? (ay.1-4)
Perhatikanlah bahwa kondisi waktu itu, semua manusia memiliki satu bahasa dan satu logatnya (ay.1) yang memberikan mereka kesempatan berada dalam kesatuan dan keutuhan untuk hidup bersama di satu tempat yang disebut tanah Sinear (ay.2). Dengan kemampuan bersama itu mereka membangun tempat tinggal dan menemukan cara untuk menyiapkan bahan-bahannya berupa batu bata dan ter gala-gala (atanh liat) untuk merekatkan (ay.3). Tiba- tiba muncul ide untuk membangun sebuah menara yang tinggi yang puncaknya sampai ke langit. Apakah tujuan dari membangun menara yang tinggi itu?

Tujuan pertama, tentu berkaitan erat dengan peristiwa masa lalu yakni pemusnahan masal melalui peristiwa airbah. Bisa jadi bahwa ini adalah upaya mereka untuk menghindari hukuman andai kata dilakukan Tuhan lagi untuk menghukum mereka. Tentu ini merupakan motivasi yang keliru. Supaya terhindar dari hukuman Allah, bangunlah alat penangkal hukuman. Dengan kata lain, mereka bukan mencari sebab mengapa dihukum, yakni karena dosa, tetapi justru merasa perlu menyaingi kedasyatan hukuman itu.

Tujuan kedua, puncak menara itu direncanakan dibangun untuk mencapai langit. Dalam teks asli, istilah langit itu dari kata שָׁמַיִם (shamayim) yang berarti bukan saja langit tetapi berarti pintu sorga, atau tempat para ilah atau dewa bersemayam. Istilah ini oleh terjemahkan King James Version menyebut dengan Heaven. Dalam tradisi keagamaan kuno, lagit adalah tempat para dewa tinggal. Maka secara tidak langsung tujuan pembangunan menara Babel adalah untuk mendekati tempat Allah bersemayam. Pendek kata mereka ingin menyaingi “ketinggian” Allah bersemayam atau mengulang lagi dosa perdana di taman Eden yakni ingin menjadi seperti Allah (bd.Kej.3:5).
 
MENARA BABEL
Tujuan ketiga, untuk “mencari nama”. Mereka berkata: “marilah kita mencari nama”. Istilah “nama” ini dari bahasa Ibrani שֵׁם (shem) yang memang berarti nama tetapi juga bermakna kemasyuran atau popularitas. Istilah ini juga merupakan nama dari anak pertama Nuh yakni SEM (Shem) yang berarti masyur atau terkenal. Tujuan membangun menara Babel untuk “mencari nama” itu setara dengan kesombongan dan keangkuhan untuk menandingi Allah atau berusaha setingkat dengan Allah.

Tujuan keempat, adalah “jangan terserak ke seluruh bumi”. Mereka dengan sengaja melawan keinginan Allah untuk membuat manusia memenuhi bumi dan supaya terjadi penyebaran yang merata di seluruh permukaan bumi, sebagai tujuan awal pasca airbah (bd. Kej.10:32). Keangkuhan membawa mereka menjadi pemberontak dan gagal memaknai peristiwa air bah sebagai cara Tuhan menghukum akibat pemberontakan manusia. Menara Babel adalah simbol kesombongan, tegar tengkuk dan jiwa pemberontakan umat manusia pada waktu itu.

2.      TUHAN menggagalkan pembangunan menara Babel (ay. 5-9)
Apakah reaksi Tuhan atas giat kerja yang dilakukan manusia di bawah sana? Apa yang Tuhan perbuat terhadap rencana manusia dikolong langit itu? Ada beberapa hal menarik yang terjadi, yakni:

Pertama, Tuhan “turun” untuk melihat kota dan menara yang sedang dibangun itu (ay.5). Menara yang dibangun tinggi dengan rencana hingga sampai ke “sorga” supaya anak-anak manusia dapat “naik” dan melihat kemuliaanNya, justru disikapi Allah dengan cara “turun” melihat mereka. Hal ini menarik untuk direnungkan. Bahwa tidak ada yang dapat menjumpai Kemuliaan, Kekudusan, dan KeMahaan Allah. Siapapun dikolong langit ini tak kan mampu melakukannya. Justru sebaliknya, TUHAN Allah sendirilah yang “turun” menjumpai kefanaan, kerendahan, dan kenajisan manusia. Jika Tuhan tidak pernah “turun”, maka manusia tidak bisa menjumpai Allah. TUHAN Allah-lah yang justru memjumpai manusia (bd. Yoh.3:16).

Kedua, Tuhan “mengacaubalaukan” keseragaman (ay.7) yang mereka banggakan. Kesatuan bahasa dan logat sebagai anugerah Allah ternyata disalah-gunakan untuk memberontak kepada Sang Pemberi keseragaman itu. Maka TUHAN pun membuat keseragaman menjadi keberagaman, keharmonisan menjadi disharmoni (kacau-balau). Modal utama mereka yang dipakai untuk menyaingi Allah justru sirna dan hilang lenyap.

Ketiga, Tuhan “menyerakkan” mereka keseluruh bumi (ay.9). Maksud hati para manusia itu untuk hidup dan tinggal menetap di satu tempat sebagai bentuk perlawanan pada rencana Allah yang mula-mula (bd. Kej.1:28; 10:32), justru gagal. Tuhan membuat merek terserak diberbagai tempat di bumi agar rencana penuhilah bumi sebagai tujuan manusia diciptakan Allah dapat tercapai. Mereka berpikir bisa menggalkan rencana Tuhan, tetapi justru sebaliknya, Tuhanlah yang menggagalkan rencana mereka,

APLIKASI DAN RELEVANSI
Silakan temukan relavansi dari galian Firman Tuhan ini dalam kehidupan beriman orang percaya dan realitas kongkrit disekitar kita. Keangkuhan dan Kesombongan akan berakhir pada kegagalan atau bencana. Tidak ada yang dapat menggagalkan rencana Tuhan, justru sebaliknya, Tuhan mampu menggagalkan rencana hebat apapun milik manusia di kolong langit ini.