Wednesday, November 21, 2018

YAKOBUS 1:12-18


IMAN YANG TERUJI
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Minggu
25 November 2018

PENGANTAR (Latar Belakang Kitab)
Surat ini ditujukan kepada orang Kristen Yahudi diaspora yakni mereka yang tersebar dalam perantauan. Yakobus menujukan surat ini kepada duabelas suku yang telah percaya kepada Yesus Kristius (1:1).

Sepertinya, Yakobus melihat berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh jemaat Tuhan ini dengan cara umum, yakni tentang perbagai pencobaan hidup yang harus mereka alami sebagai kaum pendatang maupun pencobaan iman sehubungan dengan status mereka sebagai orang percaya (1:2-18); bagaimana seharusnya sikap orang percaya berhubungan dengan Firman Tuhan yang telah mereka terima (1:19-27); relasi dan interaksi dalam jemaat maupun di luar jemaat (2:1-13; 3:1-18); iman yang harusnya diejawantahkan dalam perbuatan (2:14-26); dan beberapa pokok penting yang berhubungan dengan tindakan, cara hidup serta sikap yang harus dilakukan oleh seorang yang percaya kepada Yesus Kristus (4:1-5:20).

Dengan kata lain, jika tulisan Paulus berbicara tentang begitu banyak kerygma dan hal-hal yang bersifat doktrin teologis, surat Yakobus justru menitik beratkan pada aspek lain yakni tindakan nyata dari tiap kerygma yang telah diimani itu. Bagaimanakah seorang bercaya bersikap? Bagaimana memandang harta itu? Apa yang dilakukan jika merencanakan hari esok? Jika ada penderitaan dan persoalan hidup apakah yang harus diperbuat sebagai orang percaya? Dan masih banyak lagi berbagai hal yang sifatnya tindakan nyata sebagai orang Kristen yang diajarkan Yakobus.

TELAAH PERIKOP (Tafsiran)
Perikop ini 1:12-18 berbicara tentang pencobaan dan ujian iman. Istilah yang dipakai Yakobus untuk “pencobaan” berasal dari bahasa Yunani πείρασμόζ (baca: peirasmos) yang berarti pencobaan atau pembujukan. Yakobus membedakan pencobaan berdasarkan asalnya menjadi dua bagian, yakni pencobaan yang datang dari luar diri yang biasa diidentikkan dengan kesukaran hidup, penganiayaan dan penderitaan (band.1:2-4) atau rencana Iblis untuk menyurutkan iman melalui kegagalan dan derita (bd. Kisah Ayub); dan pencobaan yang datang dari dalam diri sendiri karena keinginan daging yang menggiring manusia untuk terbujuk menjauhi Allah dan memberontak kepadaNya (band. 1:13,14). Itulah sebabnya, berdasarkan jenis kedua ini, Yakobus menegaskan bahwa pencobaan tidak berasal dari Allah. Allah jangan “dikambing-hitamkan” pada kejatuhan manusia dalam dosa akibat dorongan dirinya sendiri karena keinginan dagingnya.

Cara menghadapi jenis kedua dari pencobaan ini, yakni pencobaan dari dalam berupa keinginan daging dan hawa nafsu adalah dengan bertahan sehingga terkategori sebagai pribadi yang tahan uji (ay.12). Mengapa tahan uji itu begitu penting? Menurut Yakobus, tahan uji akan melahirkan ketekunan (1:3). Istilah ketekunan ini di gunakan Yakobus dari istilah Yunani ύπομονή (baca: hupomone) yang berarti ketekunan, kesabaran, ketahanan sebagai suatu kemampuan menghadapi sesuatu yang sulit dan sukar. Dengan kata lain, tidak akan ada ketekunan, ketahanan dan kesabaran jika tidak melalui pencobaan dan kesukaran hidup. Sebagaimana baja atau besi harus ditempa dan dibakar untuk kemudian menjadi sebuah mata bajak atau pedang, demikian juga kehidupan umat Tuhan. Seringnya ditempah dan dilatih akan membuat setiap orang mempunyai kemampuan untuk bertahan atau bertekun sehingga dengan sabar menghadapi pencobaan itu.

Inilah alasan mengapa kemudian pada ayat 12 bacaan kita, Yakobus menyebut “berbahagialah”. Seorang hanya disebut berbahagia dalam konteks ini jika ia mampu bertahan dalam pencobaan dan melewati ujian iman itu untuk kemudian menerima mahkota kehidupan. Dengan kata lain, kebahagiaan itu bukan karena mendapat pencobaan, melainkan karena mendapat mahkota di ujung akhir, jika mampu bertahan terhadap cobaan iman yang dihadapi.

Selanjutnya, Yakobus mengingatkan bahwa pencobaan itu tidak datang dari Allah melainkan dari keinginan daging manusia (ay.14) yang jika tidak bertahan pada godaan itu, akan membuahkan dosa yang berujung pada maut (ay.15). Penegasan ini penting, karena jangan sampai akibat perbuatan dosa karena menuruti hawa nafsu, orang percaya kemudian menjadi “Pilatus” yang “cuci tangan” untuk mencari kambing hitam, yakni menyalahkan Tuhan yang memberikan pencobaan kedagingan tersebut. Berbeda dengan 1:2-3, pencobaan yang dimaksud adalah penderitaan akibat iman kepada Allah. Jenis cobaan pertama ini disebut ujian iman, yakni apakah ketika menghadapi penderitaan orang tetap bertahan pada imannya tersebut atau meningalkan Kristus. Sedangkan pada 1:13,14, pencobaan dimaksud adalah keinginan daging yang mau dipuaskan sehingga melanggar kehendak Allah. Jenis ini disebut dengan pencobaan dari dalam diri.


RELEVANSI DAN APLIKASI (Penerapan).
Siapapun kita pasti akan menghadapi pencobaan iman yang membawa kita mengalami penderitaan hidup ataupun godaan kedagingan yang menggiring kita ke dalam dosa. Firman Tuhan hari ini memberikan pentunjuk praktis bagaimana mengahadapi derita itu. Jika harus menghadapi penderitaan itu seakan suatu kebahagian, maka hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk melihat sisi positif dari penderitaan tersebut. Perhatikan bunyi surat 1 Korintus 10:13 berikut ini:

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.

Bahwa pencobaan yang diterima tidak melebihi kekuatan kita. Hal ini mengandung makna jika kita menganggap hanya sanggup memikul 10 kg dan Tuhan memberi 20 kg, itu berarti Tuhan mengukur dan mengetahui kekuatan kita yang tak pernah kita bayangkan. Bersyukurlah jika masih diberikan pencobaan dengan nilai tertentu, karena Tuhan masih mengganggap kita mampu memikulnya. Bahkan janji yang indah dari Tuhan adalah kita akan memperoleh jalan keluar. Perhatikanlah bahwa pemberian jalan keluar oleh Tuhan bukan berarti bahwa kita dapat keluar dan lari dari pencobaan tersebut, sebagai cara mengatasinya. Namun bagian akhir dari ayat ini adalah suapaya kamu dapat menanggungnya. Dengan kata lain pencobaan membuat kita memperoleh mentalitas pejuang dan bukan mentalitas gampangan.

Hal yang perlu kita ingat ketika menghadapi pencobaan hidup adalah bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan kecelakaan, melainkan rancangan damai sejahtera (Yer.11:29). Hal ini berarti setiap pencobaan dan penderitaan bukanlah tujuan akhir; bukan pula kehancuran total. Sebab tujuan akhir dari pencobaan itu adalah kesempurnaan dan keutuhan hidup yang disebut sebagai buah yang matang (ay.4). Firman Tuhan harus menjadi kekuatan dan landasan kuat kita ketika menghadapi pencobaan hidup. Bukankah Tuhan Yesus ketika dicobai oleh Iblis selalu menggunakan Firman Tuhan untuk menghadapi tiga mencobaan yang datang saat berada di padang gurun? Karena itu gunakanlah Firman Tuhan sebagai senjata menghadapi cobaan demi cobaan yang menghadang hidup beriman kita. 

Namun tidak semua orang mampu berpikir dan siap menghadapi pencobaan seperti yang disebutkan di atas. Sebab kadangkala derita hidup membuat kita justru kehilangan kekuatan percaya dan memilih melakukan keinginan daging supaya tetap bahagia. Lalu ketika jatuh dalam dosa karena gagal bertekun dan tidak tahan uji, kita menyalahkan Tuhan yang mengijinkan pencobaan itu. Hati-hati, itu suatu kebodohan. Sebab Allah tidak pernah mencobai umatNya (ay.13), kita sendirilah yang lebih mau bebas dari kewajiban moral iman percaya dan memilih bahagia secara semu yakni menikmati keinginan daging (ay.14). Sebab dari semula rancangan Allah adalah kebenaran dan kebaikan. Maka bagaimana mungkin mengijinkan kita dengan sengaja mau jatuh dalam dosa. Berpikir secara demikian menurut Yakobus adalah kesesatan (ay.16-18). Karena itu, bertobat lebih tepat dari pada menyalahkan Allah dan kita lari dari tanggung-jawab.

Karena itu yang harus kita perbuat bukan “menyalahkan” Allah melainkan mencari Allah dalam cobaan yang berat itu. Tuhan pasti memampukan kita menghadapi tiap pencobaan hidup ini, tak peduli jika hal itu terberat sekalipun. Andalkan Tuhan, dan jangan andailakan diri sendiri. Kita membutuhan Tuhan dan hikmatNya menghadapi tiap pencobaan hidup ini. Amin.

1 PETRUS 2:18-25


1 PETRUS 2:18-25
MENDERITA DALAM KEBENARAN
Bahan Khotbah Ibadah Keluarga
28 November 2018

PENGANTAR
Surat Petrus mulai dengan menjelaskan status pembaca sebagai “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus” (2:9) sebagai kesimpulan dari 1:1-2:10. Oleh karena itu, “sebagai pendatang dan perantau” (2:11), pembaca harus melawan dosa dan hidup baik di tengah bangsa-bangsa, supaya Allah dimuliakan (2:12). Dalam 2:13-3:7 hal itu dijelaskan dalam rangka hierarki-hierarki masyarakat. Sebagai hamba Allah, orang percaya adalah orang merdeka, tetapi bukan untuk berbuat jahat melainkan untuk berbuat baik (2:16), termasuk menghormati semua orang sesuai dengan kedudukannya (2:17).

Para penerima surat 1 Petrus ini, hidup dalam masa-masa sukar. Mereka ada di zaman sulit. Saat dimana Kekristenan alami penganiayaan. Dibenci oleh Kaizar Nero, sang penguasa. Tentu saja, bagi yang memiliki mentalitas cari aman, pilihan mengikuti jejak Yesus, bukanlah keputusan cerdas. Mereka akan memilih menolak salib, sebab itu derita. Terhadap yang setia beriman, namun minim pemahaman, Petrus bukan saja mencerdaskan, namun juga menguatkan melalui suratnya ini.

TELAAH PERIKOP (Tafsiran)
Perikop kita dapat dibagi dua, yaitu pertama, berisi nasehat tentang bagaimana bersikap sebagai seorang Kristen dengan status sosial tertentu ditengah masyarakat (ay.18-20) dan kedua, apa dasar dari atau alasan dari nasehat-nasehat tersebut (ay.21-25).

1.      Isi Nasehat dan Himbauan Petrus (ay.18-20)
Tidak mudah untuk mengerjakan nasehat yang ada pada ayat 18-20 bacaan kita. Bagaimana mungkin menerima begitu saja tiap ancaman dan perlakuan tidak adil sebagai hamba terhadap tuan yang bengis itu? Bahkan dalam ayat 19-20 penderitaan akibat perlakuan buruk itu disebut “kasih karunia pada Allah”. Bagaimana mengerti perintah atau nasehat petrus ini?

Istilah “tunduk” dipakai oleh LAI untuk menerjemahkan katahupotassomai yang berarti bahwa saya menempatkan diri (membiarkan diri ditempatkan) di bawah pengaturan atasan. Jadi, kata itu tidak semutlak “menaati”. Misalnya, saya harus taat kepada Allah, dan anak (kecil) kepada orangtuanya. Tetapi dalam hubungan hierarkis, seperti pemerintah, tempat kerja dsb, saya harus mengakui kuasa yang diberikan Allah kepada atasan. Pada umumnya hal itu berarti bahwa saya menaati atasan, tetapi, seperti Petrus sendiri yang “tidak taat” kepada Mahkamah Agung Yahudi, ada saatnya juga saya harus menaati Allah daripada manusia (Kis 4:19).

Kemudian, kata “ketakutan” (Yun: fobos) di sini merujuk pada rasa hormat. Tentang atasan, kata fobos dapat berarti “takut kena penyiksaan dari atasan yang bengis” atau “takut mengecewakan atasan yang ramah dan yang saya hormati”. Ketakutan yang pertama memang perasaan yang dialami jika ada tuan yang bengis. Tetapi ketakutan yang kedua, tidak boleh diabaikan yakni takut mengecewakan tuan yang ramah. Dengan demikian, “tunduk dengan penuh ketakutan”  kepada tuan, harus dipahami dalam dua kategori tadi.

Tetapi bagaimana jika diperlakukan tidak adil oleh tuan yang begis? Tentu hal itu tiidaklah mudah, apalagi mesti menganggap bahwa hal itu adalah kasih karunia. Dalam aya.19-20 terjemahan “kasih karunia” harus dimengerti sesuai dengan pengertian asali dari istilah ini. Kata Kasih Karunia berasal dari istilah Yunani “kharis yang berarti sikap yang baik kepada pihak lain. Seringkali kata kharis dipakai untuk sikap Allah yang baik kepada kita bukan karena perbuatan kita melainkan karena penebusan dalam Kristus, dan untuk artian itu terjemahan “kasih karunia” oleh LAI adalah tepat.

Tetapi di sini Petrus merujuk justru pada perbuatan atau sikap yang berkenan di hadapan Allah, yaitu menanggung penderitaan yang tidak adil. Allah melihat perlakuan yang tidak adil itu, dan memuji kita, bukan memuji tuan yang bengis. Jika kita tetap menerima dengan rela keburukan itu tanpa bersungut maka di mata Tuhan itu adalah kasih karunia, atau pada pandangan Allah perbuatan kita itu adalah perbuatan yang baik (kharis).

2.      Landasan dan alasan himbauan itu (ay.21-25)
Bagaimana kita tahu bahwa Allah berkenan atas penanggungan penderitaan yang tidak adil dan menganggap apa yang kita lakukan (menerima dengan tunduk pada atasan yang begis) dianggap suatu perbuatann baik atau kasih karunia? Karena Kristus telah merintis jalan itu. Perlakuan terhadap Kristus ketika Dia ditangkap dan disalibkan adalah perlakuan paling tidak adil karena Kristus tidak ada dosa sama sekali (ay.22). Namun, Kristus tidak membalas tetapi menyerahkan perlakuan itu kepada Sang Hakim yang adil (ay.23). Jika kita menanggung penderitaan yang tidak adil, itu bukan suatu kerugian, sebaliknya hal itu adalah kasih karunia atau dianggap perbuatan baik yang kita lakukan di mata Allah.

Kita diajak untuk meneladani Kristus dalam penderitaanNya dan menjadikan itu motivasi bagi kita untuk melakukan perbuatan baik walau alami penderitaan (ay.24-25). Artinya, kita diajak bahwa andaikata harus menderita karena menjadi orang Kristen sekalipun, kita harus tetap berbuat baik. Jangan hanya karena kondisi hidup yang tidak baik, kita akhirnya melakukan hal yang tidak benar dan membawa kita dalam dosa.

Bagaimanapun hal itu tidak mudah. Karena itu Petrus meneguhkan dan menguatkan mereka yang menderita ketidakadilan itu untuk bersabar dan tetap berbuat baik. Dalam kesesatan sebelum mengenal Kristus, tidak mungkin kita menanggung penderitaan yang tidak adil tanpa dendam yang pahit. Tetapi karena kita sudah mengenal kasih Allah yang diperlihatkan dalam pengorbanan Kristus, kita dapat membalas kejahatan dengan kebaikan (ay.24-25). Pada bagian ini sangatlah penting, yakni Petrus mengajak kita untuk meninggalkan perbuatan dosa kita agar menjadi kesaksian bagi banyak orang termasuk mereka yang menista kita sekalipun

RELEVANSI DAN APLIKASI
Apa yang hendak Petrus sampaikan pada para pembaca suratnya kala itu, Untuk dapat kita aplikasikan dalam hidup beriman kita? Ada beberapa hal penting, yakni:
1.    Perhatikan ayat 20 yang berbunyi: “…Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.” Dengan sangat sederhana, Petrus mau mengatakan, bahwa dengan mengikuti jejak Yesus, ujungnya adalah hidup! Bukan melulu penderitaan, apalagi kematian. Dengan demikian, ia secara tegas mengingatkan kaum beriman di zamannya, bahwa tidak sia-sia setia beriman, dandan meneladani Kristus. Jika kita tetap rela menderita karena kebenaran, maka itu dipandang oleh Allah sebagai perbuatan baik, yakni suatu kasih karunia. Sehingga di masa sukar itupun, kita tetap dapat bersaksi tentang kebenaran.

2.     Motivasinya jelas, yaitu menyenangkan hati Allah. Para budak atau hamba pada jaman itu diminta untuk tetap setia, berlaku benar, dan bersikap baik pada para tuan mereka, bukan untuk menjilat. Bahkan tetap berbuat baik meskipun diperlakukan jahat. Tujuannya untuk memuliakan nama Allah! Menjadi teladan hidup bagi dunia sekitar. Lainnya, sebagai wujud pelaksanaan dari tugas panggilan iman. Jadi entah kita mengalami penderitaan atau tidak, saudara dan saya diajak meiliki motivasi yang tepat dalam hidup ini yakni: Menyenangkan Tuhan.

3.     Sebagai orang percaya kita dipanggil untuk meneladani Kristus, yang rela menderita bahkan hingga mati di kayu salib. Ia tidak melawan, iapun tidak membalas. Sebab ia tahu kepada siapa ia harus tunduk, yakni pada Sang Bapa dan misiNya bagi dunia. Kerelaan kita untuk menjalani kehidupan ini dan juga siap hadapi derita demi suatu kebenaran, hal itu semata karena tunduk dan taat pada Sang Tuan yang Agung yakni Allah Bapa kita. Kendatipun harus menderita, kita tetap memilih untuk tetap berbuat baik dan benar. Supaya melalui itu nama Tuhan tetap dimuliakan.

Karena itu, marilah jalani hidup ini. Entah di saat kita menderita sekalipun atau hidup dalam sukacita, pastikan bahwa kita tetap menyenangkan Tuhan lewat memuliakan namanya dalam semua keadaan hidup ini. Amin