Sunday, May 4, 2014

BAHAN RENUNGAN IBADAH PKP 06 MEI 2014



KISAH PARA RASUL 4:1-4

PENDAHULUAN
Memanfaatkan tiap peluang sekecil apapun untuk mencapai suatu target besar adalah awal kesuksesan. Pernyataan ini memberi arti bahwa jika ingin berhasil maka setiap orang harus mampu melihat peluang dan kesempatan untuk dengan bijak memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang ada.

Kondisi ini pula yang dialami dan dilakukan oleh Rasul Petrus. Ketika ia mampu menyembuhkan orang lumpuh sehingga bisa berjalan (ay.1-10), maka peristiwa itu menghebohkan orang-orang yang berada di sekitar Bait Allah. Mereka kemudian mengerumuni Petrus dan Yohanes di Serambi Salomo (ay.11). Petrus melihat bahwa hal ini adalah peluang untuk memberitakan Injil tentang Yesus Kristus.

Itulah sebabnya, pada aya-ayat selanjutnya, kita menemukan bahwa dengan berani dan tegas, Petrus memberitakan nama Yesus dan mengajar orang banyak tentang siapakah Yesus itu.


TELAAH PERIKOP
Rupanya ada resiko besar yang harus diterima oleh Petrus dan Yohanes ketika mereka dengan berani dan penuh semangat memberitakan nama Yesus Kristus sebagai pribadi yang bangkit dan berkuasa.

Saat sedang berkhotbah, mereka di datangi oleh para Imam dan kepala pengawal Bait Allah serta orang2 Saduki (ay.1). Siapakah orang-orang tersebut? Mereka yang datang adalah orang-orang terpandang dan sangat berwibawa kalangan agama Yahudi.

Tiga kelompok yang datang dan memarahi mereka, datang dengan kepentingan dan tanggung-jawab berbeda-beda, yakni:
-          Imam-imam mungkin marah karena menganggap bahwa rasul-rasul itu tidak mempunyai hak untuk berkhotbah sebab mereka bukan kelompok lewi sebagai pelayan bait Allah dan bukan turunan Harun sebagai imam.  Hal ini berarti mempersoalkan otoritas dan wibawa lembaga agama yakni wibawa Majelis Sanhendrin. Para rasul yang hanya nelayan itu dianggap telah mencoreng wibawa dan otoritas imam karena berani berkhotbah.

-          Sedangkan orang Saduki mungkin marah karena rasul-rasul memberitakan adanya kebangkitan (ay 2 bdk. Kis 3:15 bdk. Mat 22:23). Ini bicara soal kemurnian ajaran. Orang saduki menganggap tidak ada kebangkitan sesudah kematian. Jika para rasul memberitakannya, maka hal itu berrti sesat.

-          Orang ketiga adalah kepala Penjaga Bait Allah. Terkumpulnya banyak orang akan menciptakan keramaian di sekitar wilayah itu. Karena diduga bahwa pelanggaran yang dilakukan ada hubungannya dengan Bait Allah dan wibawa agama Yahudi, maka kepala pengawal Bait Allah - lah yang memiliki wewenang untuk mengamankan mereka dan bukan pengawal kerajaan.

Menarik sekali melihat kejanggalan peristiwa ini. Petrus dan Yohanes langsung ditangkap tanpa tahu apa sesungguhnya kesalahan mereka (ay.3). Perlakuan tidak adil ini semakin menarik ketika kita tidak menemukan usaha Petrus dan Yohanes untuk melawan. Mereka seakan menurut saja dan membiarkan diri mereka berdua di giring bagaikan penjahat. Tindakan diam yang dilakukan oleh kedua rasul ini bukan berarti bahwa mereka takut dan gentar sehinga bungkam dan berdiam seribu bahasa. Sebab pada ayat 5 dst kita justru menemukan bahwa Petrus dan Yohanes justru lebih lantang lagi berbicara ketika mereka diminta keteranganya (ay.5 dst)

Hal ini menunjukka bahwa strategi pekabaran injil telah disiapkan matang oleh keduanya yang tentu melalui hikmat Tuhan. Kekerasan tidak harus dilawan dengan kekerasan sebab keadilan Tuhan selalu datang tepat waktu. Bayangkan jika Petrus berontak saat di tahan, mungkin kisahnya tidak akan seperti ini. Mungkin pula bahwa mereka tidak diberi kesempatan untuk memberitakan Injil.

Berita sedih pekabaran Injil perdana para rasul ini justru bukan menjadi akhir kisah. Dalam ayat 4 kita meneukan berita baik. Bahwa hasil dan khotbah Petrus di Serambi Saloma telah menyelamatkan banyak jiwa. Mereka bertobat dan menerima Tuhan Yesus. Jumlahnya tidak sedikit, mencapai bilangan lima ribu orang laki-laki yang diselamatkan dari hasil pengajaran itu dan belum termasuk jumlah perempuannya (ay.5).

Kanyataan dalam ayat 4 ini menegaskan bagi orang percaya bahwa kuasa Firman Tuhan yang keluar dari mulut para pemberita tidak pernah keluar dengan cuma-Cuma. Tidak pernah menjadi sia-sia apa yang dkerjakan untuk Tuhan. Hal ini terbukti dari ayat 4 bacaan kita saat ini.


RELEVANSI DAN APLIKASI
Terdapat beberapa hal penting dari Firman Tuhan ini untuk diaplikasikan atau diterapkan dalam kehidupan kita, yakni:

1.       Pada ayat 2 kita menemukan bahwa ada orang2 yang marah terhadap yang dilakukan oleh Petrus dan Yohanes. Ini perlu kita bandingkan dengan Kis 2:47 yang mengatakan bahwa orang kristen disukai oleh semua orang. Jelas bahwa kata ‘semua’ itu tidak mungkin dimutlakkan. Orang kristen yang betul-betul mau hidup sesuai dengan kehendak Tuhan memang tidak mungkin bisa disukai semua orang (bdk. Yoh 15:18-21 2Tim 3:12). Bahkan bisa saja ada orang-orang yang mula-mula menyukai kita sebagai orang kristen, tetapi setelah kita mulai memberitakan Injil kepadanya, menegur dosanya dsb, lalu menjadi benci kepada kita.

2.       Kelihatannya, dengan ditangkap dan dipenjarakannya rasul-rasul, maka habislah riwayat kekristenan / gereja saat itu. Firman Tuhan menjadi tidak memiliki kuasa. Firman Tuhan terbelenggu oleh dinginnya dinding rumah tahanan. Tetapi betulkah demikian? Perhatikan ay 4. Rasul-rasul itu boleh dibelenggu, tetapi Firman Tuhan tidak bisa dibelenggu (bdk. Fil 1:12-14).

Tidak ada suatu kuasapun yang dapat menghalangi pemberitaan dan penyebaran Injil. Termasuk tembok penjara sekalipun. Ada 5000 ribu orang yang dimenangkan karena Injil diberitakan. Kisah ini harusnya memotivasi setiap kita agar mau dan bersedia menangkap peluang untuk memberitakan Injil. Petrus sekalipun sedang di sidang, tetap beritakan Injil tanpa takut (ay.5 dst). Sebagai orang percaya, kitapun harusnya demikian. Jangan perna malu dan ragu untuk memberitakan Kristus dalam kehidupan ini. Jika ada peluang dan kesempatan, manfaatkanlah untuk menyaksikan kepada orang lain tentang Kristus. Amin






BAHAN RENUNGAN IBADAH PKB 05 MEI 2014




LUKAS 24:36-48

PENDAHULUAN
Bacaan ini berada setelah kisah penampakan di jalan ke Emaus. Dalam kisah di jalan sampai ke Emaus itu, Yesus menampakkan diri kepada dua orang murid-Nya. Peristiwa itu tentu mengejutkan sekaligus menguatkan keyakinan para murid bahwa Yesus bahwa Guru mereka telah bangkit. Suasana bingung dan bertanya-tanya tentu menyelimuti sebagian besar murid oleh karena mereka belum mengalami secara langsung peristiwa yang terjadi atas kedua teman mereka.

Kini ketika mereka sedang membicarakan hal mengejutkan itu, Yesus tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka dan mengucapkan salam, “Damai sejahtera bagi kamu!” Inilah ucapan salam yang mengharapkan agar yang diberi salam itu merasa tenang, aman, nyaman dan makmur, sebagaimana maksud dari kata damai sejahtera (Yun. eirene). Harapan akan hal tersebut ternyata malah berbanding terbaik. Para murid ternyata menjadi terkejut dan takut: apakah ini hantu? Mereka menjadi bingung juga ragu tentang kenyataan di hadapan mereka.

TELAAH PERIKOP 
Melihat keadaan yang kurang nyaman itu, Yesus kemudian meyakinkan mereka bahwa Dialah itu. Pada dasarnya sikap bertanya-tanya dengan penuh keraguan di kalangan para murid itu mencerminkan sikap orang Kristen yang menjadi alamat penerima Injil Lukas. Keragu-raguan, yang dalam bahasa Yunaninya menggunakan kata dialogismos, sebenarnya menunjukkan sikap yang mempertanyakan kebenaran sesuatu. Dalam hal ini mereka mempertanyakan apakah Yesus benar-benar bangkit; apakah sas sus yang berkembang itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ini sekaligus menggugat intisari iman Kristen yang berdasar pada keyakinan Yesus yang bangkit.

Keraguan para murid tersebut dijawab oleh Yesus dengan membuktikan kebangkitan-Nya, yakni:
1.       Tangan dan kakinya yang berbekas paku dan tubuh yang berdaging dan bertulang. Dalam budaya pada waktu itu ada keyakinan bahwa yang namanya hantu, pasti tidak memiliki daging dan tulang; hanya berupa bayangan saja. Dalam budaya timur, ada kepercayaan bahwa hantu tidak menjejakkan kakinya di tanah. Dapat saja pada waktu itu Yesus menjejakkan kakinya di tanah untuk menguatkan bukti bahwa tubuhnya yang bangkit itu bukanlah hantu.
  
2.       Yesus membuktikannya dengan makan sepotong ikan goreng. Hantu tentu saja tidak melakukan aktivitas itu, seperti halnya manusia.

3.       Bukti selanjutnya dari kebangkitan Yesus adalah para pengikutnya yang diharapkan dapat menjadi saksi peristiwa itu. Istilah saksi menggunakan kata martus yang berpadanan dengan kata martir. Jadi dalam hal ini bukanlah saksi dusta atau rekayasa, tetapi saksi yang benar-benar rela mempertahankan kebenaran kesaksiannya itu di hadapan semua orang. Keterangan inilah yang membuat inti iman Kristen itu tetap dipegang oleh semua orang Kristen di dunia ini.

Ketiga hal inilah yang secara kasat mata membuktikan peristiwa ajaib yang luar biasa tentang kebangkitan Yesus itu. Namun di atas semuanya itu ada suatu karya besar yang sedang terjadi, yakni penggenapan nubuat kitab suci tentang Mesias yang berkarya untuk mengampuni dosa manusia. Ditegaskan bahwa dalam nama-Nya berita tentang pertobatan (Yun. metanoia) dan pengampunan dosa (Yun. aphesis) harus disampaikan kepada semua orang.

Istilah metanoia pada dasarnya berarti perubahan seantero akal dan budi dari yang salah kepada yang baik. Sedangkan istilah aphesis merupakan suatu kata yang diambil dari dunia pemasyarakatan, tatkala seorang tahanan mendapat pengampunan (remisi). Dengan demikian esensi yang paling utama dari kebangkitan Yesus bukan hanya terpaku pada tubuh yang bertulang daging atau makan saja atau pula kubur yang kosong, melainkan paa murid sebagai saksi kebangkitan yang harus memberitakannya.

RELEVANSI DAN APLIKASI
1.        Kebangkitan Kristus adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Bagaimanapun cara banyak orang menolak berita kebangkitan, iman kita tak tergoyahkan bahwa Kristus sudah bangkit.

Memang tidak mudah untuk meyakinkan orang lain tentang berita kebangkitan tersebut. Sebagaimana Yesus hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk mengalahkan alam maut; selanjutnya hanya butuh 10 hari bagi Yesus, setelah kenaikanNya, untuk menyiapkan segala sesuatu bagi pencurahan Roh Kudus; tetapi Dia harus menunggu 40 hari setelah kebangkitan untuk yakinkan para murid  yang ragu bahwa Ia sudah bangkit,- maka demikian juga tidak mudah meyakinkan orang lain bahwa Kristus sudah bangkit.

2.        Bukti yang paling nyata dari kebangkitan Yesus adalah orang Kristen di segala tempat dan sepanjang zaman. Siapapun dia yang menjadi Kristen (pengikut Kristus) berada pada suatu keharusan iman, yakni bersaksi tentang Yesus dan kebangkitan-Nya. Karena itu, orang Kristen merupakan saksi hidup dari suatu peristiwa pada masa silam. Ini adalah suatu hal yang unik. Kekristenan merupakan suatu situasi di mana intisari imannya diturunalihkan dari generasi yang satu ke generasi sesudahnya. Hal itulah yang selalu dilanjut-lanjutkan sehingga iman Kristen dapat bertahan kurang lebih dua ribu tahun.

Sebagai kaum bapak yang adalah kepala keluarga dan orang tua, maka merupakan kewajiban kita pula untuk meneruskan berita kebangkitan ini dari generasi ke generasi. Supaya iman Kristen terus bertumbuh sampai Kristus datang kembali.

3.        Kebangkitan Kristus bukanlah mimpi atau ilusi. Ia bukanlah sosok hantu (ay.37-39). Ia mengucapkan salam kepada para murid. Ia mempersilahkan mereka menyentuh dan meraba-Nya. Ia minta makanan, dan makan bersama-sama mereka. Ia telah mati dan mengalahkan maut,  dan Ia telah bangkit. Alasan utama dari kematian dan kebangkitanNya adalah karena TUHAN, Allah mengasihi dunia ini (Yoh 3:16)

Kasih Allah itu, yang mengundang setiap insan pada pertobatan dan pengampunan dosa, harus diberitakan keseluruh dunia. Karena karya penyelamatan Kristus masih terus berlanjut. Murid-muridlah saksi dari semua ini! Mereka tidak dikehendaki terus bersembunyi di ruang tertutup, tetapi mereka harus keluar.

Hal yang sama berlaku bagi kita semua sebagai orang percaya. Kita harus menjadi saksi bagi dunia tentang kebangkitan Kristus karena kita juga adalah murid Kristus. Tutur kata dan pola laku kita harusnya mencerminkan Kristus. Sebagai murid kita wajib meneladani Kristus dalam kehidupan ini bagi orang lain sebagai cara bersaksi tentang kebangkitanNya. Supaya ketika hidup kita mencerminkan Kristus, maka orang lain akan berjumpa dengan Kristus yang bangkit melalui pola hidup kita yang benar.

Karena itu, ingatlah: kita tidak dapat menunjuk Tubuh Terluka berlubang paku milik Tuhan Yesus yang bangkit sebagai bukit kebangkita saat ini. Sebab Yesus telah naik ke Sorga. Hidup kitalah yang harus menjadi bukti bahwa Kristus telah bangkit. Kitalah saksi tentang Kristus yang hidup dalam hidup kita. Amin.

BAHAN RENUNGAN IBADAH KELUARGA 07 MEI 2014



1 YOHANES 3:11-18 (SBU 3:11-15)


PENDAHULUAN

Sejak kecil kita sudah mengenal kasih, lewat orang tua, lewat saudara dan lewat teman-teman. Sejak kecil kita juga telah dituntut untuk mengasihi. Kita belajar untuk mengasihi. Kita dididik untuk mengasihi. Sampai saat ini, kita masih tetap dituntut dan diajar tentang kasih.

Dalam I Yohanes 3:11 dikatakan, “Sebab inilah berita yang telah kamu dengar dari mulanya, yaitu bahwa kita harus saling mengasih”. Sejak pertama kita mengenal Kristus, perintah untuk saling mengasihi sudah kita dengar. Sejak kita pertama kali muncul di dunia ini, kita sudah mengenal kasih. Belaian lembut dari Ibu mengajarkan kita tentang kasih. Sampai saat inipun kita selalu ingin dikasihi dan mengasihi. Seakan-akan kasih itu ada disepanjang hidup kita. Tetapi, apakah kita sungguh-sungguh mengerti tentang kasih? Berapa banyak kita berkata kepada orang lain kita mengasihi mereka. Terhadap orang tua kita, terhadap suami/istri, terhadap pacar/tunangan kita terhadap saudara dan teman-teman kita? Khususnya terhadap Tuhan?



TELAAH PERIKOP

Bacaan kita saat inipun berbicara tentang Kasih itu. Rasul Yohanes menjelaskan dengan perspektif sederhana untuk mendefenisikan apakah Kasih itu. Ada beberapa pokok penting yang dijelaskan Rasul Yohanes mulai ayat 11-18. Karena itu perikop ini jangan berhenti pada ayat 15 sebagaimana anjuran SBU, namun perlu dibaca secara utuh hingga ayat 18.  Pokok pikiran dalam perikop ini adalah:

1.       Mengasihi bukanlah perintah yang baru bagi orang percaya. Penekanan penting ini disampaikan oleh Rasuk Yohanes pada ayat 11. Mengapa? Karena hal itu sudah mereka dengar dari mulanya dan Kasih adalah inti ajaran Kristus sejak semula. Perintah untuk saling mengasihi adalah perintah yang disampaikan Yesus kepada para muridNya sebelum di salib. Dan itu Yesus sebut sebagai perintah baru (Yoh. 13:34).


Namun karena perintah sudah pernah diteruskan kepada mereka oleh para rasul, maka seharusnya perintah mengasihi bukan menjadi hal baru yang sulit untuk dilakukan. Dengan memahami bahwa perintah mengasihi sudah mereka ketahui, maka Rasul Yohanes menduga bahwa harusnya pula apa yang sudah diketahui itu harus juga dikerjakan.

2.       Selanjutnya Yohanes mengingatkan bahwa kendatipun kita sungguh mengasihi orang lain, belum tentu pula mereka mengasihi kita. Contoh mengenai kasus Kain dan Habel diberikan Yohanes sebagai bukti dari suatu kebencian mutlak yang berakhir pada pembunuhan (ay.12).


Dunia yang tidak percaya pastilah tak mungkin mengasih orang percaya (ay.13). Namun kebencian mereka harus tetap dibalas dengan kasih tanpa pamrih tersebut. Sebab jika kebencian yang diperoleh dari dunia yang jahat ini, dibalas dengan kebencian yang sama, maka orang percaya tidak jauh berbeda dengan dunia yang jahat. Untuk membedakan diri orang percaya yang telah berpindah dari maut ke dalam kasih Karunia Kristus, maka Yohanes meminta umat Tuhan untuk tetap mengasihi mereka yang menganggap orang percaya itu musuh. Bahkan lebih jauh, anggaplah mereka bagaikan saudara untuk dikasihi (ay.14). 

3.       Ada hal menarik yang ditegaskan Yohanes pada ayat 15 untuk men-jelaskan apakah kasih itu. Yohanes membandingkan Kasih itu sebagai tindakan berlawanan dari kebencian. Membenci saudara sama dengan membunuh saudaranya itu (ay.14). Hal ini harus dimengerti dalam perbandingan terbalik suatu dikotomi antara istilah musuh dengan sahabat (baca: saudara) dan dikotomi membunuh dengan menghidupkan.

Apabilah seseorang membunuh (baca: membenci) saudaranya, hal itu sama artinya dengan ia telah menghidupkan seorang musuh. Sebaliknya, barangsiapa mengasihi musuhnya, hal itu berarti ia telah menghidupkan seorang sahabat (baca: saudara). Maka benarlah ungkapan ini: “cara mudah untuk menghilangkan permusuhan adalah dengan mengubah musuh menjadi sahabat; cara bijak untuk mempertahankan persahabatan adalah dengan menjadikan sahabat bagaikan saudara”

4.       Lebih lanjut, Yohanes memberikan ukuran mutlak kadar dari Kasih itu. Apakah ukuran mengasihi itu? Ukurannya adalah cara Yesus mengasihi umatNya. Satu-satunya cara Yesus menunjukkan KasihNya dalam kadar mutlak yang maksimal adalah memberikan dirinya (Yun: agapao atau agape) melalui mengorbankan nyawaNya (ay.16). Itulah sebabnya Yohanes mengarahkan bahwa kadar seorang mengasihi sesamanya adalah relah mengorbankan segalanya, termasuk nyawanya sekalipun.

5.       Di bagian akhir perikop ini Yohanes menunjuk bentuk kongkrit dari Kasih yang mengasihi itu. Bahwa kasih tidak dapat diungkapkan dengan kata atau lidah; kasih tidak dapat hanya dinilai dengan perasaan. Semuanya hanya akan membuat kasih menjadi abstrak atau tidak nyata.



Itulah sebabnya dalam ayat 17, Yohanes memberi contoh nyata soal Kasih yang mengasihi, yakni jangan hanya mengasihi saudara dengan keprihatinan dalam kata atau pengertian dalam pikiran. Jika ia kekurangan sesuatu dan kita memiliki hal yang ia butuhkan, maka seharusnya kasih yang kongkrit adalah lewat tidakan memberikan apa yang ia perlu dan bukan sekedar keprihatinan yang semu. Sebab Kasih yang sesungguhnya tidak terpapar secara abstrak dalam kata melalui lidah; melainkan terwujud kongkrit dalam perbuatan dan kebenaran yang nyata (ay.18).


APLIKASI DAN RELEVANSI     

Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa poin khusus yang dapat di terapkan dalam kehidupan kita, yakni:

1.   Kasih itu memang rohani. Sebab kasih yang sejati itu hanya dapat datang dari Allah. Tetapi Yohanes berpesan, supaya kasih itu jangan terlalu dirohanikan. “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan.” Mengasihi dengan perbuatan. Hal ini sudah tidak perlu dijelaskan alias sudah gamblang. Yang tersisah hanyalah apakah dilaksanakan atau tidak.

Kasih itu bukan terutama untuk direncanakan. Bukan hanya untuk dikhotbahkan. Bukan cuma untuk dislogankan atau diposterkan. Tetapi untuk diwujudkan. Untuk dilaksanakan. Untuk ditindakkan. Untuk diamalkan. Sekarang, dan di sini. Mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan! Love ini action.

2.       Tetapi perhatikanlah juga bahwa wujud kasih bukan hanya dalam perbuatan nyata. Namun dalam ayat 18, Yohanes menekankan bahwa Kasih harus nampak dalam perbuatan dan kebenaran. Jadi jangan abaikan “kebenaran” sebagai alat ukur mengasihi. Mengasihi dalam kebenaran berarti kita melalukan sesuatu oleh karena kita tahu bahwa yang kita lakukan itu benar. Kita tahu persis mengapa kita lakukan itu; dan kita tahu  bagaimana melakukannya. Dan ketika melakukannya, kita tahu persis bahwa perbuatan kita itu benar.

Bukan banyak orang melakukan sesuatu dengan alasan karena mengasih? Tapi apakah perbuatan mengasihi untu berada dalam tataran kebenaran? Adalah tidak benar adanya jika karena alasan mengasihi maka kita membiarkan anak kita membawa kendaraan saat belum mencukupi persyaratan umur membawa kendaraan bermotor sesuai ketentuan. Adalah tidak benar bahwa karena alasan mengasihi maka kita menyembunyikan kesalahan dari orang yang kita kasihi.

Mengasihi mutlak di tunjukkan dengan perbuatan. Namun perbuatan yang benar dalam kebenaran hakiki adalah kasih yang sesunguhnya.

3.       Silakan dikembangkan dengan melihat poin 1-3 pada telaah perikop, khususnya pada bagian “membenci saudara sama dengan membunuh” dan kesediaan untuk “membalas kebencian dengan kasih” sebagai ciri mereka yang telah menerima Kasih karunia Allah. Amin.