Saturday, March 8, 2014

BAHAN RENUNGAN IBADAH KELUARGA 12 MARET 2014


AMSAL 30:11-14

Pendahuluan
Bentuk dan penyajian kumpulan amsal milik Agur bin Yake dari Masa ini berbeda dari kumpulan amsal sebelumnya. Di sini kita dapat merasakan perasaan negatif serupa kitab Pengkhotbah, "Aku berlelah-lelah, ya Allah..." bandingkan dengan keluhan Pengkhotbah akan "jerih lelah yang sia-sia" (Pkh. 1:3; 2:11, dst.). Pertanyaan Agur, khususnya mengenai siapa Allah (ayat 4-5), mirip dengan pertanyaan Allah yang menantang Ayub karena berani mempertanyakan kebijaksanaan Allah (lih. Ayb. 38-42). Bedanya, Ayub mempertanyakan Allah, di sini Agur mengakui keterbatasannya dalam mengenal Allah.

Ajaran hikmat dari dari Agur dalam Amsal ini mengajak kita untuk menempatkan diri pada posisi yang tepat di hadapan Allah, pencipta dan pemilik alam semesta ini. Kita hanyalah ciptaan-Nya yang terbatas dan fana. Oleh karena itu, penting sekali kita mengakui bahwa sumber hikmat hanya pada Allah dan upaya menambahinya adalah sikap arogan manusia yang hanya menghancurkan diri sendiri (ayat 5-6, 13).

Sebaliknya hidup bergantung penuh pada Tuhan, bersyukur untuk anugerah-Nya yang senantiasa cukup (band. Flp. 4:12-13) adalah sikap orang berhikmat. Dampak sikap hidup yang benar di hadapan Tuhan akan berwujud nyata dalam sikap hidup kita terhadap orang lain (ayat 11-14).

Telaah Perikop
Pada bacaan kita malam ini, Agur dalam Amsalnya menyebut tentang cara hidup yang keliru umat manusia yang tidak berkenan kepada Allah. Setiap orang harus mampu melakukan hal2 yang berkenan kepada Allah dalam upaya mengenal Allah, melalui perbuatan dan sikap hidup terhadap sesama. Kenyataannya, menurut Agur, ada beberapa sikap tidak benar yang datang dari hidup yang tidak mengenal Allah, yakni:

1.   Sikap terhadap orang tua (ay. 11)
Dengan gamblang penulis amsal ini menyatakan bahwa ada orang yang tidak menghormati orang tua melalui sikap yang tidak terpuji. Mereka mengutuki ayah nya dan bahkan tidak memberkati  ibunya. Pribadi seperti ini justru bukan orang yang mengenal Allah, malah sebaliknya mereka pastilah hidup jauh dari TUHAN. Sebab setiap orang yang tidak menghormati orang tua sudah pasti dikutuki Tuhan. Hal ini jelas dinyatakan dalam Ulangan 27:16 yaltu: Terkutuklah orang yang memandang rendah ibu v  dan bapanya...”


2.   Sikap terhadap dosa diri (ay. 12)
Yang dimaksud dalam ayat 12 ini adalah tipe orang yang merasa benar dan orang lain adalah pendosa. Ia tidak perna mau menyadari bahwa dirinya adalah pribdai yang berdosa. Jarinya selalu menuding dosa orang lain, sementara dirinya sendiri dianggap paling suci.

Dalam Roma Roma 3:10-13, Paulus dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang benar; semua telah berbuat dosa. Pernyataan Paulus ini sangat penting dalam rangka pengenalan akan Allah. Jika seseorang menggap diri benar dan tidak mengakui dosanya, Ia sama dengan orang yang tidak mengakui Kasih Karunia Allah yang menyelamatkan orang berdoa. Sebab dengan mengaku diri berdosa, berarti ia membutuhkan pengampunan dari Allah. Selama pribadi seseorang tidak mengakui dosanya dan menggap diri benar, tidak ada pengampunan dari Allah. Pribadi demikian sudah jelas tidak mungkin mengenal Allah.

3.   Sikap angkuh dan menindas orang lain (13,14)
Penulis amsal selanjutnya menyebut tipe ke tiga dari pribadi yang terkategori tidak dapat pengenalan tentang Allah. Yaitu mereka yang tidak mengasihi sesamanya. Keangkuhan diri dan mengangap orang lain lebih rendah dari dirinya; dan bahkan dengan tega dan sadar menindas dan merugikan orang lain adalah contoh jelas dari Amsal bahwa pribadi ini tidak mengasihi sesamanya.

Rasul Yohanes mengatakan: Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.(1 Yoh.4:8). Hal ini berarti bahwa ukuran seseorang mengenal Allah adalah dengan mengasihi sesama. Orang yang membenci sesamanya, menindas dengan angkuh orang lain adalah pribadi yang tidak mengenal Allah. Lebih jauh dikatakan oleh Rasul Yohanes: Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. (4:20). Ukuran mengasihi Allah dan mengenal Allah adalah mengasihi sesama. Konsep ini sangat sederhana namun tegas. Kita hanya dapat mengalami pengenalan terhadap Allah jika kita juga bersedia untuk mengasihi sesama.

Relevansi dan Aplikasi
Aplikasi Firman Tuhan dalam ayat 11-14 haruslah di baca dalam kerangka berpikir mulai dari ayat 1. Karena itu ada beberapa poin penting mulai dari ayat 1-14 yang dapat kita aplikasikan dan terapkan dalam kehiidupan ini, yakni:
1.  Betapa gamblangnya Agur menjelaskan dengan ekspresi bahasa (ay.1-3) bahwa seorang hanya akan memiliki pengenalan yang benar akan Allah yang Maha Kudus melalui penyataan-Nya: umum dan khusus. Setiap orang dapat menyaksikan penyataan umum saat menyaksikan karya ciptaan Allah yang agung dan dahsyat ay.(4). Tak seorang manusia atau dewa mana pun yang mampu menciptakan dunia sedemikian dahsyat ini. Penyataan umum dapat menghantar manusia mengenal Sang Pencipta yang agung dan besar. Lebih dari itu ada penyataan khusus yakni melalui firman dan Anak-Nya, supaya manusia tidak berhenti pada pengagungan karya ciptaan-Nya, melainkan masuk dalam karya keselamatan-Nya.
2.  Allah tidak mau manusia berhenti pada pengakuan bahwa dunia ini diciptakan-Nya, melainkan ada satu tujuan yang lebih mulia, yakni manusia mengerti bagaimana Allah menganugerahkan keselamatan kepada manusia berdosa. Melalui firman-Nya yang kudus yang tidak boleh ditambah atau dikurangi karena sifatnya yang murni (ay. 5-6), manusia mengerti betapa besar dan dalamnya kasih Allah, sehingga mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal mati menanggung dosa manusia. Barangsiapa percaya kepada Anak-Nya beroleh keselamatan kekal, karena ia sudah pindah dari dalam maut kepada hidup.
3.  Selanjutnya, Seorang yang mengenal dan telah menerima karya keselamatan-Nya akan hidup dalam anugerah dan pemeliharaan-Nya. Inilah yang diminta oleh Agur. Ia mengenal bahwa manusia sulit berkata "cukup" karena selalu ada ketidakpuasan dalam dirinya. Bila ia merasa segala kebutuhan tercukupi ia tidak lagi memandang kepada Tuhan yang memberikan; bila ia hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ia bisa mencuri dan mempermalukan Tuhan (bd. ay. 9). Jika demikian kapan kehadiran Tuhan dalam hidupnya, ketika kaya dan ketika miskin pun tidak?! Berbeda halnya dengan seorang yang menyadari bahwa hidupnya adalah anugerah dan segala yang dimilikinya pun semata berdasarkan anugerah dan pemeliharaan-Nya, sehingga ia senantiasa mensyukuri Sang Pemelihara hidupnya.
4.  Pengenalan akan Allah selanjutnya harus pula dimulai dengan pengenalan akan diri sendiri yang penuh dosa (ay.12). Saatnya kita menyadari bahwa kita semua berdosa. Kita tidak lebih benar dari orang lain. Dengan pengenalan akan diri sendiri yang berdosa dan memerlukan Kasih Karunia Tuhan yang menyelamatkan, akan menggiring tiap pribadi untuk mengalami pengenalan akan Allah dalam Yesus Kristus Sang Penyelamat.
5.  Bukti nyata yang tak terpungkiri bahwa setiap orang telah mengalami penenalan akan Allah terlihat dari relasi yang baik dan harmonis dibangun dengan sesamanya manusia. Entah upaya mengormati orang tua (ay.11); ataupun relasi indah penuh kasih dengan orang lain (ay.13-14). Pengenalan akan Allah hanya dapat dilakukan apabila seseorang memiliki hubungan yang baik dengan TUHAN Allah dan mengasihiNya dengan sungguh. Namun, seeorang dapat dikatakan telah mengasihi Allah dengan sungguh, dapat terlihat pada tulusnya ia mengasihi dan menghormati sesamanya.

Selamat mengalami pengenalan yang utuh dan benar terhadap Allah yang menyatakan diriNya melaui segala ciptaan dan istimewa melalui karya keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus. Amin.

BAHAN RENUNGAN IBADAH PKP 11 MARET 2014


AYUB 4:12-21

Pendahuluan
Kitab Ayub adalah sebuah tulisan yang kaya gaya sastranya, oleh karena itu kita akan menemukan beraneka ragam gaya sastra seperti dialog (pasal 4-27), percakapan seorang diri (pasal 3), wacana (mis. Pasal 29-41), narasi  (pasal 1-2), dan nyanyian pujian (pasal 28). Nama Ayub sendiri dalam bahsa Ibrani berarti sebagai “Di mana Bapaku?, walaupun memang ada dua tafsiran lain  yang menterjemahkan bahwa Arti nama Ayub adalah “Lawan Allah” dan “orang yang bertobat” (dari bahasa Arab).

Tujuan kitab Ayub ini adalah menyelidiki keadilan dan perlakuan Allah terhadap orang benar. Dalam dunia Perjanjian Lama, berkembang pemahaman bahwa kebiasaan Allah untuk memberkati orang benar dengan berbagai kekayaan dan reputasi, tidaklah menghalangi pengembangan kebenaran yang sejati. Tetapi dalam situasi Ayub, kenyataan yang terjadi adalah Allah tidak berkewajiban untuk memastikan bahwa orang benar menerima berkat dan hanya berkat, seperti yang dipersoalkan Iblis (dalam Ayub 1:9-11). Tetapi juga bisa melewati suatu fase yang dinamakan dengan penderitaan.

Sehingga tema pokok yang didiskusikan dalam kitab Ayub ini
adalah tentang penderitaan orang yang tidak bersalah, berdasarkan suatu kenyataan bahwa orang yang saleh juga hidup menderita. Dan Ayub menjadi pusat pembicaraan dari dialog-dialog yang dilakukan olehnya dengan keempat temannya yang bukan orang Yahudi, yakni Elifas, Bildad, Zofar dan Elihu, di mana mereka yang sebenarnya datang sebagai penghibur, tetapi juga melemparkan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan terhadap Ayub, dan terkesan menunjukkan sikap permusuhan.

Telaah Perikop
Bagian bacaan kita saat ini yakni Ayub 4:1-12 adalah salah satu dialog Ayub dengan teman-temannya yang bernama Elifas, sesudah mereka mendengarkan curahan hati Ayub atas apa yang dialaminya, yakni kisah penderitaannya yang telah kehilangan segala-galanya, baik harta kekayaan maupun keluarganya, termasuk penderitaan jasmani yang sedang dialaminya. Elifas, seorang yang berasal dari Teman (daerah Edom – Yes 49:7) ia merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh Ayub. Bahwa sebagai seorang yang dulunya menikmati kemakmuran, bahkan selalu membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan darinya, kini Ayub tidak berdaya.

Dan sekalipun Elifas tahu bahwa Ayub adalah orang yang takut akan Tuhan, dan yang tidak pernah berputus asa, termasuk dalam meresponi penderitaan yang sementara ia alami, maka ia pun menyarankan kepada Ayub bahwa agar terbebas dan keluar dari belenggu penderitaan ini, maka Ayub harus tetap menyandarkan hidupnya kepada Tuhan dan hidup terus dalam kesalehan.

Ternyata dalam dunia Perjanjian Lama teologi tradisional, yaitu: “ORANG YANG MAKMUR, PASTI ORANG BENAR DAN ORANG YANG MENDERITA PASTI ORANG JAHAT”, cukup banyak mempengaruhi kehidupan umat manusia. Sehingga Elifas berpikir bahwa bahwa yang menyebabkan Ayub jatuh di dalam penderitaan yang luar biasa itu tidak datang dari luar, tetapi datang justru dari dirinya sendiri yang telah berbuat dosa.

Pada satu pihak, perkataan Elifas tentunya tidak salah bahwa kebinasaan dan kehancuran itu datang dari berbagai perbuatan jahat yang pernah dilakukan seseorang (ay 7-9). Dan di samping itu bahwa realitas yang melekat kepada kehidupan manusia bahwa tidak ada seorang pun yang benar dan tahir di hadapan Tuhan, termasuk hamba-hamba Tuhan (ay 17-18) tentu lebih menguatkan pendapat Elifas bahwa Ayublah yang berdosa.

Tetapi pada pihak lain, Elifas yang semulanya datang untuk menghibur, ternyata juga memojokkan dan menempatkan Ayub pada posisi yang sangat tidak berdaya. Ungkapan-ungkapannya justru tidak mendatang-kan penghiburan, apalagi menolong Ayub dalam menghadapi persoalan yang terjadi, tetapi justru membuat Ayub semakin terpuruk, oleh karena semuanya itu tidak menjawab dan menyentuh persoalan yang dialami oleh Ayub sendiri. Bahwa apa yang diperkirakan oleh Elifas tidaklah demikian yang dilakukan oleh Ayub. Bahwa ternyata dalam kesalehan dan ketaatannya kepada Allah, dia telah mengalami suatu kehidupan yang berat, yang dinilainya bukan akibat dari segala perbuatannya selama itu.

Relevansi dan Aplikasi (Penerapan)
Maksud dan tujuan baik kadangkala belum tentu juga menghasilkan suatu hal yang baik. Menghibur orang yang dekat dengan kita adalah suatu hal yang pantas dan wajar. Tetapi kadang-kadang kita harus memikirkan apakah tindakan yang kita lakukan benar-benar menyentuh ataupun menjawab persoalan yang dialami oleh saudara dan teman kita itu. Mungkin kita harus lebih hati2 di dalam mengerjakan sesuatu dengan perhitungan yang matang. Sebab keinginan kita untuk menjadi berkat bagi sesama kita bisa berubah menjadi batu sandungan bagi orang lain. 

Kisah Ayub yang kita renungkan kali ini mau memberikan warna yang baru dalam drama kehidupan umat manusia. Bahwa ternyata tidak selamanya hidup menjadi orang benar di hadapan Allah harus menikmati berbagai keselamatan yang dinikmati di dunia ini, seperti kemakmuran, kedamaian, keamanan, kekayaan dan kebahagiaan.

Bahwa ungkapan semakin dekat dengan Tuhan semakin besar pencobaan itu datang, membuat kita berpikir apakah Allah itu adil di dalam kehidupan kita. Tetapi mungkin kita bisa merenungkan sebuah lagu: “Tak pernah Tuhan janji hidupmu takkan berduri tak pernah Dia janji lautan tenang”. Bahwa ternyata kehidupan manusia itu kadangkala harus mengalami apa yang dinamakan kesusahan, sesuai dengan kadar dan situasi yang dialami oleh seseorang. Tetapi itu semuanya itu tidak hanya datang dari pada manusia, tetapi berasal dari keinginan Iblis yang tidak pernah membiarkan umat Tuhan dalam keadaan tenang. 

Walaupun demikian ternyata Allah tidak akan pernah meninggalkan umatNya yang mengalami penderitaan. Sebab ending dari drama kehidupan Ayub menunjukkan keadilan Allah yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Bahwa selagi kita setia dan taat dalam keadaan apapun maka Allah tidak akan pernah sedetik meninggalkan kita yang mengandalkan Dia.

Ingatlah: 

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.  (1 Kor 10:13). Amin.

BAHAN RENUNGAN IBADAH PKB 10 MARET 2014


MAZMUR 77:12-21

Pendahuluan
Siapapun kita pasti pernah mengalami pasang surut kehidupan. Ada saat hidup penuh dengan damai sejahtera, namun juga ada kondisi di mana hidup penuh tantangan dan persoalan. Bisanya ketika mengalami hidup yang penuh damai dan kesenangan, kita menikmatinya dengan penuh kegirangan dan kelegaan. Bahkan tanpa sadar, kesenangan hidup itu sering membawa kita terlena dan melupakan sumber dari segala kebahagian hidup, yakni Tuhan sang pengasih. Bukan itu saja, kesenangan hidup jugalah yang kemudian mulai menggiring kita untuk menjauh dari Tuhan dan jatuh dalam dosa.

Lain halnya ketika kemudian hidup yang kita jalani tiba2 berubah dari bahagia menjadi sengsara dan penuh pergumulan. Hal utama dan pertama yang dilakukan adalah mencari-cari Tuhan untuk memohon pertolongan. Bahkan kadang sadar atau tidak, kita mencari Tuhan bukan untuk meminta pertolongan, melainkan meminta pertanggung-jawaban Tuhan. Tuhanlah yang layak kita anggap penyebab sengsara hidup ini. Tuhan kita anggap sudah tudak mengasihi kita lagi. Sehingga penyebab utama hidup sengsara, kita sebut Tuhanlah penyebabnya.

Telaah Perikop (Tafsiran)
Kondisi inilah yang tergambar dalam bacaan kita hari ini. Mazmur ini diciptakan waktu keadaan umat Israel susah sekali, yaitu di masa yang menyusul kembalinya umat dari pembuangan. Hati pemazmur sangat tertekan dan ia hampir hilang kepercayaannya kepada Tuhan sebagai pelindung dan penolong umatNya (bd. Maz 77:2-11).

Jika kita memperhatikan awal kisah pembuangan Israel dan bahkan melihat pola laku bangsa pilihan ini, maka pastilah kita setuju bahwa pembuangan itu dan kesengsaraan tersebut merupakan dampak dari dosa dan kesalahan umat kepada Allah. Namun sengsara hidup dan derita yang mereka alami acap kali hanya direfleksikan sebagai bentuk murka Allah dan kebencian Allah bagi umatNya. Tuhan sudah tidak mengasihi Israel dan menolak bangsa pilihan (bd. Ay. 8,9) adalah anggapan umum umat waktu mengalami pembuangan. Tuhan menjadi “kambing hitam” dan penyebab sengsara mereka.

Cara berpikir yang keliru ini dituturkan oleh Asaf penulis Mazmur mulai dari ayat 2-11 bacaan SBU pagi. Menurut pemazmur apa yang mereka alami dalam kesengsaraan disebabkan oleh Tuhan. Mengapa demikian? Karena pemazmur melihat sendiri dan mengingat masa lalu tentang berbagai derita pembuangan hingga mereka kembali ke kampung halaman. Dalam keputusasaan mengalami derita, pemazmur berseru dengan nyaring meminta pertolongan, namun tangan Tuhan seakan enggan menolong (ay.3,4). Bahkan lebih jauh, pemazmur mencoba merenungkan ulang kisah masa lalu hidup mereka, dan dalam kegetiran ia menyimpulkan bahwa Tuhan telah berubah (ay.11).

Syukurlah bahwa perspektif yang keluru ini diubah oleh Asaf dengan cara pandang yang baru ketika mengalami persoalan dan tekanan kehidupan. Perhatikan beberapa hal yang disampaikan dan dilakukan pemazmur ketika melihat masalah dan beban hidup itu dengan cara yang baru, yakni:
1.       Pemazmur tetap melihat masa lalu. Tetapi kali ini dengan cara yang berbeda. Ia tidak melihat dan mengingat masa lalu yang kelam dan sulit. Namun yang diingat dan direnungkan adalah perbuatan-perbuatan TUHAN yang ajaib (ay.12.).

Mengingat perbuatan Allah yang ajaib rupanya adalah upaya pemazmur untuk membuktikan bahwa TUHAN tetap berkuasa atas mereka dan perbuatan ajaib Allah selalu ada sejak zaman purbakala. Dengan cara pandang seperti ini, Asaf ingin mengajak umat Israel untuk meyakini bahwa kuasa Allah tidak pernah berubah. Sekaligus meralat pernyataan ayat 11 bahwa tangan kanan Yang Mahatinggi berubah, tidaklah benar. TUHAN Allah tidak berubah sebab sejak purbakala perbuatan ajaibNya telah ada.

Dengan mengingat-ingat perbuatan Tuhan masa lampau, ia berharap beroleh kekuatan untuk tetap percaya dan mengandalkan Dia! Ingatannya terhadap perbuatan Tuhan masa lalu membawanya kepada kekaguman luar biasa pada kuasa Allah sekaligus menjadikan itu sebagai kekuatannya menghadapi tantangan hidup.

2.       Perhatikan ayat 13 bacaan kita. Pemazmur bukan hanya mengingat perbuatan-perbuatan Allah yang ajaib itu di masa lampau, namun juga ia merenungkan peristiwa2 itu sebagai suatu refleksi iman tentang kuasa Allah yang ajaib. Walaupun tidak disebutkan hasil perenungan itu, namun kita dapat menduga dengan pasti bahwa hasilnya adalah hal-hal positif yang membangkitkan semangat iman untuk berjuang dan berpeng-harapan dalam TUHAN. Hal ini terlihat jelas ketika ia dengan berani, semangat menyebut atau menceritakan perbuatan2 TUHAN itu.

Tidak disebutkan mengapa ia menyebut perbuatan TUHAN itu. Hal ini harus dilihat dalam pemahaman pengajaran Israel dari generasi ke generasi. Menyebut perbuatan Tuhan berarti menceritakan perbuatan TUHAN itu. Ini bermakna bahwa pemazmur tidak hanya merenungkan untuk diri sendiri namun ia berani bersaksi tentang TUHAN yang ajaib tersebut kepada orang lain. Itu berarti pemazmur sedang mengajarkan kepada orang lain tentang Allah dan perbuatanNya yang ajaib itu.

3.       Perhatikanlah bagaimana cara pemazmur menuturkan dan menyebut perbuatan2 ajaib yang dilakukan TUHAN dalam hidup bangsa Israel pada ayat 16-21..! SANGAT DETAIL, itulah cara pemazmur menyebut perbuatan-perbuatan TUHAN yang ajaib itu. Terkesan kuat seakan pemazmur mengalami sendiri peristiwa nenek moyangnya mengalami tangan TUHAN yang membebaskan mereka melalui Musa dan Harun. Pemazmur dengan lugas dan jelas menyebut tahap demi tahap berbuatan Tuhan itu.

Hal ini perlu dipertanyakan!! Bagaimana mungkin pemazmur mengingat detail peristiwa masa lalu padahal ia sendiri tidak mengalami zaman Musa dan Harun? Jawaban yang pasti adalah bahwa pemazmur mendengar kisah itu dari orang tua yang menuturkannya dari generasi ke generasi. Mungkin juga ia membaca kisah tersebut dalam tulisan-tulisan suci Israel. Yang pasti pemazmur sangat mengenail Allah dan perbuatanNya itu dan tidak melupakan kebaikan2 yang telah Tuhan perbuat baginya dan nenek moyang Israel.

Relevansi dan Aplikasi (penerapan)
semua orang pernah mengalami kesulitan di dalam kehidupan, termasuk orang Kristen. Di dalam kesusahan hidup, siapakah yang kita cari? Seringkali kita tidak lagi mau mencari TUHAN karena kita menganggap TUHANlah yang bertanggungjawab atas semua kesusahan kita. Kita menganggap Dia tidak dapat menjaga dan memelihara kita sebagaimana janjiNya. Pemazmur di dalam kesusahannya tetap berseru kepada TUHAN. Jadi walaupun kita menyimpan banyak pertanyaan tentang TUHAN, tetapi sepatutnya kita meneladani pemazmur dengan tetap bersandar kepada TUHAN.

TUHAN tidak pernah meninggalkan kita. Dalam kesulitan kita, seharusnya kita tetap beriman kepada TUHAN karena percaya bahwa tidak ada allah lain selain daripada TUHAN. Untuk bisa sampai pada tingkatan iman seperti ini, maka langkah pertama yang harus kita perbuat adalah merenungkan dan mengingat perbuatan Tuhan yang ajaib dalam hidup kita. Carilah dan ingatlah bagaimana TUHAN menolong kita, dan apa yang kita alami bersama TUHAN.

Semua kita tentu pernah mengalami keajaiban TUHAN di dalam hidup ini, bukan? Jadikan pengalaman-pengalaman iman di masa lalu itu sebagai kekuatan menghadapi pergumulan dan tangan saat ini. Bahkan bukan itu saja, kita harus mengikuti apa yang diperbuat pemazmur, ykani menceritakan berbagai keajaiban itu kepada orang lain dan turun-temurun kita agar merekapun dapat menemukan kekuatan iman karena percaya pada Allah yang tidak berubah serta penuh kuasa itu.


Jadi marilah kita tetap beriman dan bersandar pada-Nya. Pengalaman masa lalu kita telah membuktikan bahwa TUHAN tidak pernah meninggalkan kita. Dia akan selalu setia kepada janjiNya. Selamat menghayati; mengingat dan merenungkan perbuatan Allah dalam hidup kita. Percayalah bahwa jika Dia menolong kita di masa lalu, maka kuasaNya pun ada dan siap mendampingi kita di saat mengalami pergumulan hari ini ataupun esok. Sebab sudah terbukti bahwa “TUHAN tidak pernah berubah”.  Amin.