Friday, July 19, 2013

BAHAN RENUNGAN MINGGU 21 JULI 2013

EFESUS 5:22-30
(dikutip dari buku Sabda Guna Dharma edisi 28 --- Juli s/d Agustus 2013)


PENGANTAR
Membangun hubungan antara suami-istri dalam suatu ikatan perkawinan terkesan mudah namun sulit untuk menjalaninya. Siapapun saudara yang sudah menikah pasti mengerti apakah maksud dari pernyataan di atas. Menyatukan berbagai perbedaan antara suami-istri dalam satu wadah yakni lembaga perkawinan sehingga tetap langgeng hingga maut memisahkan adalah tantangan yang sulit untuk dihadapi. Diperlukan kesabaran, kesungguhan cinta kasih, dan pengertian untuk mampu menjadi pasangan yang baik antar keduanya. Pepatah: “asam di gunung; garam di laut menyatu dalam belanga” sering dijadikan analogi bagaimana hubungan suami istri itu menyatu dalam kepelbagaian budaya dan karakter masing-masing. Namun, sekali lagi, semuanya tidak semudah asam dan garam bercampur dalam belanga. Bukan saja butuh pengorbanan dan usaha keras untuk menjalaninya, tetapi juga perlu memahami dengan bijak bagaimana seharusnya relasi atau hubungan suami-istri itu dibangun.

Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus menguraikan dengan rinci bagaimana seharusnya posisi dan relasi antara suami-istri itu dipahami. Menurut Rasul Paulus, suami-istri ketika membangun hubungan satu dengan yang lain dan memposisikan diri dan pasangan masing-masing harus bercermin pada hubungan Kristus dan jemaat (bd. ay.32). Bagaimanakah memahami hubungan suami-istri yang bercermin pada hubungan Kristus dan jemaatNya? Mari perhatikan detail uraian Paulus di bawah ini. 


PEMAHAMAN TEKS

I.        Latar belakang dan isi surat Efesus

Surat kepada jemaat di Efesus ini ditulis oleh Rasul Paulus ketika ia sedang berada dalam penjara di Roma sekitar tahun 60-61 M. Surat ini dikirim Paulus ke Efesus melalui seorang yang bernama Tikhikus (6:21,22) yang juga adalah orang yang sama menyampaikan surat kepada jemaat Kolose. Hal ini terlihat dengan jelas pada kesamaan atau kemiripan redaksional penutup kedua surat ini yakni pada Kol.4:7 dan Ef.6:21-22.

Pada saat itu Efesus dan masyarakatnya dari sisi keagamaan masih sangat dipengaruhi pada penyembahan terhadap dewi Artemis. Penyembahan terhadap dewi ini menjadi hal pokok dan utama -bukan saja karena ia dianggap sebagai demi kesuburan dan kemakmuran-, namun juga karena di beberapa tempat pada budaya Yunani Kuno, dewi Artemis dipandang sebagai Soteira (penyelamat) dan Agrotera (pemburu) dan merupakan dewi pemimpin para penjaga dari segala hal yang ada di alam liar seperti pohon dan sungai. Bagi Efesus, dewi Artemis sangat dipuja karena ia dianggap menjamin keselamatan dan kehidupan mereka.

Itulah sebabnya isi surat Efesus yang dituliskan Paulus ini berintikan ajaran tentang bagaimana memperoleh keselamatan sejati dalam diri orang percaya melalui Yesus Kristus. Hal ini dengan sengaja dutulis untuk mematahkan pemahaman keselamatan yang muncul diberbagai budaya dan bangsa, termasuk Efesus.

Menurut Paulus, sumber keselamatan dunia ini terletak pada kasih karunia Allah melalui Yesus Kristus (1:3-8) yang kelak nanti akan menyatukan Seluruh alam, baik  yang di surga maupun yang di bumi, menjadi satu dengan Kristus  sebagai “Kepala" (1:10). Di dalam bagian pertama surat Efesus ini (pasal 1-3) dikemukakan bagaimana penyatuan itu terjadi. Untuk menjelaskan hal itu ia menceritakan bagaimana Allah Bapa telah memilih umat-Nya; bagaimana Allah melalui Yesus Kristus, Anak-Nya, mengampuni dan membebaskan umat-Nya dari dosa; dan bagaimana janji Allah itu dijamin oleh Roh Allah.

Selanjutnya, Di dalam bagian kedua (pasal 4-6), Paulus menyerukan kepada para  pembacanya supaya mereka hidup rukun agar kesatuan mereka sebagai  umat yang percaya kepada Kristus dapat terlaksana. Paulus menekankan soal bagaimana seharusnya hidup satu di tengah keragaman termasuk perbedaan karunia (4:1-16); menjaga pembaharuan diri agar tidak tercemar oleh berbagai kedurhakaan orang-orang yang tidak percaya (4:17-25); mengekang diri agar terhindar dari segala percekcokan yang membawa skisma atau perpecahan dalam Tubuh Kristus (4:26-32).

Dalam membangun relasi dengan orang lainpun, yang seiman maupun yang tidak percaya, Paulus menegaskan tentang pola dan sikap yang benar sesuai teladan yang diberikan Kristus. Umat diajar untuk memahami hubungan dengan orang lain termasuk hubungan antara suami-istri (5:22-33), hubungan orangtua dan anak (6:1-5), hubungan antar pekerja dan majikan (6:6-9); harus bercermin pada sikap dan teladan yang diberikan oleh Yesus ketika membangun hubungan dengan jemaatNya. Hubungan Kristus dan jemaatNya harus menjadi pola hubungan antar pribadi dengan jemaat.

Paulus menyadari bahwa tidaklah mudah bagi jemaat menjalani hidup sesui dengan kehendak Kristus Yesus yang telah memberi teladan bagi umatNya. Akan ada banyak tantangan dan godaan yang muncul untuk menghalangi umat menjalani hidup yang berkenan kepadaNya. Itulah sebabnya Paulus dalam bagian akhir suratnya (6:10-20) menyebut upaya umat menghadapi tantangan itu sebagai suatu peperangan rohani, sehingga perlu mem-perlengkapi diri dengan berbagai senjata perlengkapan Allah untuk mengalahkan Iblis.


II.      Pokok Ajaran Efesus 5:22-30

Pada pasal 5:22-30 Paulus menguraikan tentang bagaimana seharusnya sikap seorang suami dan istri terhadap pasangannya masing-masing. Relasi yang dibangun antara suami-istri, menurut Paulus haruslah mendasarkan pada hubungan Kristus dan jemaat sebagaimana diuraikan di atas. Ada beberapa pokok penting yang perlu dijelaskan terhadap uraian Paulus dalam ayat 22-30 bacaan kita ini, yakni:

1.      Perhatikanlah bunyi ayat 22 pasal 5 dalam surat Efesus ini. Paulus menulis: Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Apabila membaca pernyataan Paulus ini dengan cara melepas konteksnya, maka sudah pasti pernyataan ini lebih sering memunculkan sentimen gender. Dengan redaksi ini para suami yang tidak bertanggung jawab sudah pasti menggunakan ayat ini untuk menuntut ketundukan yang absolut dari istrinya.

Untuk itu kita perlu memahami ayat ini pada konteks yang tepat dalam hal kedudukan ayat ini pada keseluruh tulisan surat Paulus di Efesus. Di dalam teks Yunaninya, ayat ini sangat berbeda dengan terjemahan Indonesianya. Aslinya tertulis sebagai berikut: α γυνακες τος δίοις νδράσιν ς τ κυρίῳ, (baca: ai gunaikes tois idiois andrasin os to kurio) yang dapat diterjemahkan dengan bebas menjadi: "Hai, istri, kepada suamimu seperti kepada Tuhan." Dengan kata lain istilah “tunduklah” tidak terdapat dalam teks aslinya pada ayat 22. jika Kalimatnya seperti ini, maka dalam tata bahasa Indonesia kalimat tersebut tidaklah sempurna dan tanpa makna sedikitpun karena tidak memiliki satupun kata kerja (dalam hal ini: “tunduklah”).

Jika demikian, darimanakah istilah “tunduklah” diterjemahkan oleh lembaga Alkitab Indonesia? Pernyataan ayat 22 ini memiliki hubungan yang erat dengan ayat 15-21 pasal 5 surat Efesus. Paulus menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan kehidupan yang telah diselamatkan oleh Yesus Kristus, umat Tuhan harus hidup dengan bijaksana (ay.15) dengan cara mengerti kehendak Tuhan. Mereka yang hidup bijaksana sebagai anak-anak terang, yang telah diselamatkan, terlihat dari sikap hidup sehari-hari yakni:
·     Jangan mabuk anggur (ay.18);
·     Bermazmur dan bernyanyilah untuk memuliakan Tuhan (ay.19);
·     Ucaplah syukur senantiasa dalam segala sesuatu (ay.20) serta;
·     Rendahkanlah diri seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus (ay.21)

Pada bagian terakhir inilah yaitu pada kalimat: “rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus” (ay.21), pernyataan ayat 22 menjadi jelas. Istilah ποτασσόμενοι (baca: hupotassomenoi) yang diterjemahkan LAI dengan istilah “Rendahkanlah diri” ini berasal dari istilah Yunani ποτάσσω (baca: hupotasso) yang berarti tunduklah, rendahkanlah diri, dan atau menempatkan diri di bawah. Istilah ini bermakna kesediaan untuk menempatkan diri di bawah dari orang lain dengan penuh kerelaan.

Dari uraian di atas dapatlah kita mengerti bahwa istilah “tunduklah” yang diterjemahkan LAI pada ayat 22 jelas tidak ada dalam kalimat, namun mendapatkan kata kerja itu dalam hubungannya dengan ayat 21. Dengan demikian untuk memahami ayat 22 secara benar kita harus memaknainya dalam kaitan dengan ayat 21.

Setiap orang yang telah diselamatkan dan menjadi kesatuan dengan Kristus haruslah saling merendahkan diri satu dengan yang lain sebagai wujud takut akan Kristus atau ketaatan kepada Kristus (ay.21). Hal inipun berlaku bagi seorang Istri kepada suaminya (ay.22). Kesediaannya untuk tunduk atau merendahkan dirinya kepada suami bukan karena takut kepada suami, bukan pula karena suami kuat dan dia lemah, bukan juga karena tuntutan norma masyarakat dan budaya; namun sikap rela merendahkan diri kepada suami ditunjukkan sebagai wujud ketaatan kepada Kristus. Ketaatan kepada Kristus adalah alasan yang utama seorang Istri bersikap hormat dan tunduk kepada suami. Itulah pemahaman yang tepat dari ayat 22 dalam kesatuan makna dengan ayat 21 tadi, sehingga sentimen gender dapat dihindari.

Pengertian ayat 22 di atas sekaligus memaknai secara benar arti dari kalimat “seperti kepada Tuhan”. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa seorang istri dituntut untuk tunduk kepada suami karena suami adalah Tuhan. Tidak juga kemudian memberi kesan bahwa suami adalah “tuhan kecil” dalam rumah tangga. Namun seorang istri tunduk dan menghormati suaminya dalam kesadaran bebas tanpa paksaan sebagai ekspresi iman yang sangat mengasihi Kristus dan taat pada kehendakNya.

Pemaknaan ini sekaligus memberikan pengertian pada kewajiban istri dalam ayat 24 yang harus tunduk kepada suami dalam segala sesuatu. Kalimat segala sesuatu bukan berarti membenarkan segala hal yang dilakukan suami yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Segala sesuatu tidak pernah dimaksud bahwa istripun harus patuh pada tuntunan dan arahan suami yang tidak benar dan membawanya pada kehidupan dosa. Jika kondisi ini terjadi, maka istri harus tetap berpegang pada “di dalam takut akan Kristus”. Artinya, hormat dan tunduknya seorang Istri ada dalam ketaatannya pada Kristus. Sehingga istri akan memilih taat pada kehendak Kristus dari pada melakukan dosa karena mengikuti kehendak suami.

2.      Bagaimana dengan kewajiban suami? Paulus menyatakan dalam ayat 25 sbb: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya...”  Kesan yang ditangkap dari ungkapan ayat 25 ini jika dihubungkan dengan tugas suami dan istri adalah “tidak seimbang”. Seakan tugas istri sangat berat yakni harus tunduk kepada suami, sedangkan tugas suami cendrung ringan yakni “hanya” mengasihi istri.

Benarkah demikian? Perhatikanlah lebih seksama kalimat pada ayat 25 ini. Suami diperintahkan untuk mengasihi istri. Istilah mengasihi ini dalam bah. Yunani adalah γαπάω (baca: agapao) dari kata dasar agape (kasih). Istilah ini memiliki makna yang cukup dalam, bukan sekedar mengasihi atau mencintai. Istilah agape atau agapao itu sendiri penggunaannya dalam Perjanjian Baru bukan langsung berasal dari Yunani klasik tapi lebih cenderung dari LXX / Septuaginta (terjemahan PL dalam bah.Yunani), yakni אָהַב (‘ah’ev = Kasih) yang menggambarkan keagungan dan ketulusan kasih Allah kepada manusia (bd. Hos.11:1-4). Itulah sebabnya Paulus menyebut bahwa bentuk nyata Kasih Kristus kepada jemaatNya adalah lewat menyerahkan (παραδίδωμι = paradidomi = memberi) diriNya -ay.25) sebagai wujud keagungan dan ketulusan Kasih Allah. Jadi puncak tertingi dari Kasih Allah bagi umatNya adalah lewat pemberian diriNya bagi dunia. Menyerahkan DiriNya adalah adalah bentuk kongkrit dari kasih Allah.

Apabila seorang suami diperintahkan untuk mengasihi istrinya, itu bukanlah perintah yang “ringan” dan atau kurang sepadan dengan perintah kepada istri yang harus tunduk (hupotasso: merendahkan diri; menempatkan diri di bawah) pada suaminya. Sebab kualitas mengasihi dari seorang suami kepada istrinya harus bercermin pada Kasih Kristus untuk jemaatNya. Oleh karena bentuk nyata kasih Kristus kepada jemaatNya lewat menyerahkan (paradidomi = memberi) diriNya (ay.25) maka suami yang mengasihi istri berarti pribadi yang bersedia menyerahkan dirinya pada istrinya. Seorang yang menyerahkan diriya kepada orang lain adalah pribadi yang bersedia juga untuk merendahkan diri pada orang lain itu.

Sama seperti Kristus mengasihi jemaatNya dilakukan lewat merendahkan diriNya menjadi seorang hamba sebagai wujud pemberian diri Allah bagi keselamatan dunia, maka demikian juga dengan seorang suami. Jika suami mengasihi istrinya, berarti ada kesediaan untuk menyerahkan dirinya kepada istrinya termasuk kesediaan untuk merendahkan diri (hupotasso: tunduk). Jadi dibalik perintah mengasihi mengandung makna merendahkan diri juga sebagai wujud pemberian diri seorang suami kepada istrinya. Bukankah itu perkara yang tidak mudah?

Hal yang sama pun berlaku kepada seorang istri. Jika ia diperintahkan untuk merendahkan diri atau tunduk (hupotasso) kepada suami, mengandung arti bahwa ia pun harus memberi dirinya kepada sang suami. Karena memberi diri adalah wujud dari mengasihi, maka istri yang merendahkan dirinya adalah istri yang mengasihi suaminya. Dengan demikian kedua perintah yang berbeda untuk suami istri ini, mengandung makna yang sama yakni mengasihi untuk memberi diri kepada masing-masing pasangannya yang terwujud lewat saling merendahkan diri. Bukankah hal ini sangat indah jika direnungkan?

3.      Klimaks dari hubungan suami istri itu berpuncak pada pemahaman bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Istri tunduk kepada suami karena Kristus; demikian juga suami mengasihi istri karena Kristus, dengan demikian peran dan fungsi mereka disatukan dalam Kristus pada ikatan Kasih Kristus yang agung yang telah mengasihi jemaatnya termasuk suami dan istri itu. Inilah yang dimaksud dalam ayat 28-30 bacaan kita. Suami Istri disatukan dalam Kasih Kristus. Kesatuan itu digambarkan bagaikan kesatuan tubuh dimana Kristus adalah kepalanya. Karena mereka yang berbeda ini telah menjadi satu (tubuh) maka adalah tidak tepat jika suami membenci atau menyakiti istrinya yang adalah tubuhnya sendiri.

Paulus menekankan bagian ini untuk menunjukkan bahwa di hadapan Tuhan, suami-Istri bukan hanya dipandang sama fungsi dan tanggung-jawabnya namun juga lebih dari itu suami istri dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Bahwa benar keduanya berbeda, namun mereka adalah satu dalam perbedaan itu. Menyakiti tangan sama dengan membuat seluruh tubuh merasakan sakit, demikian juga menyakiti suami atau istri membuat suami-istri merasakan ketidaknyaman itu.

Rasul Petrus menegaskan: “hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.” (1Ptr.3:7). Hal ini menguatkan apa yang disampaikan Paulus. Suami yang menyakiti istri adalah suami yang kehilangan fungsi doa sebagai imam untuk mendoakan keluarga yang adalah jemaatnya.


RELEVANSI - APLIKASI

Seorang laki-laki dan perempuan adalah dua pribadi yang berbeda. Mereka kemudian menjadi satu dalam perkawinan sebagai suami-istri. Tidak mudah untuk tetap menjadi satu di berbagai perbedaan yang selalu ada. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah hadirnya berbagai perselisihan atau percekcokan dalam hidup rumah tangga. Penyebab paling utama dan umum adalah karena berbagai perbedaan itu yang lebih ditonjolkan dan bukan kesatuan sebagai jatidri baru suami istri.

Para suami istri kadang menjadi lupa bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu tidaklah heran jika dalam keluargapun terjadi kompetisi atau bersaingan untuk mengejar pengakuan soal keunggulan dan kelebihan masing-masing. Tanpa sadar suami istri menjadikan rumah tangga sebagai gelanggan pertandingan untuk menentukan siapa yang kalah atau menang. Kekalahan dianggap suatu kegagalan dan sebaliknya kemenangan adalah suatu keberhasilan diri.

Lewat bacaan ini Paulus mengingatkan bahwa suami istri bukan lagi dua pribadi. Mereka memang berbeda tetapi telah menjadi satu. Kesatuan mereka terletak pada ketaatan di dalam takut akan Tuhan. Karena itu rumah tangga bukanlah tempat persaingan memperjuangan kepentingan sendiri melainkan suatu wadah perjuangan bersama untuk kemenangan bersama. Hal ini hanya dapat dilakukan, menurut Paulus, apabila keduanya saling merendahkan diri di dalam kasih yang tulus seperti Kasih Kristus bagi umatNya. Dengan demikian berbagai perbedaan akan melebur dalam keutuhan cinta kasih Allah yang telah mereka peroleh dari Tuhan dan selanjutnya membagikan kepada pasangan masing-masing.

Karena itu marilah saling mengasihi. Bersedialah untuk memberi diri bagi pasangan masing-masing demi kebahagiaan bersama dan bukan kesenangan diri. Sebab suami istri adalah satu dalam kasih Tuhan. Rendahkanlah diri seorang kepada lain di dalam takut akan Tuhan supaya istri dapat dengan tulus dan dalam kerelaan menghormati suaminya dan selanjutnya suamipun dapat dengan kesungguhan mengasihi istrinya. Perbedaan akan selalu ada, namun betapa indahnya jika perbedaan itu dapat disatukan dalam kasih Kristus. Selamat menjadi satu dalam kasih Kristus di tengah perbedaan masing-masing. Amin.