Tuesday, August 21, 2012

MATERI KHOTBAH RABU 22 AUG 2012


YAKOBUS 4:11-12


Jemaat Tuhan
Yakobus, setelah berbicara tentang dosa lidah, ia melanjutkan tentang salah satu bentuk kehidupan manusia yang jatuh dalam Dosa Lidah tersebut, yakni pada ayat 11 dan 12 bacaan kita hari ini.

Teguran Yakobus di bagian ini diterjemahkan LAI:TB dengan “janganlah kamu saling memfitnah”. Dalam teks Yunani, kata “memfitnah” memakai istilah katalalew. Istilah ini secara hurufiah berarti “mengatakan sesuatu yang menentang” (kata = “melawan” dan lalew = “berbicara”). Mayoritas terjemahan versi Inggris memakai “mengatakan sesuatu yang jahat” atau “mengatakan sesuatu yang menentang”. Penggunaan kata ini di Perjanjian Baru menunjukkan bahwa katalalew biasa merujuk pada segala macam perkataan negatif untuk menentang orang lain, misalnya “menentang pemimpin atau Allah” (Bil 12:8; 21:5, 7), “mengumpat” (Mzm 101:5), “menghina” (Ay 19:3), “mengatakan sebuah dusta” (Hos 7:13), “mengatakan sesuatu yang bisa dianggap kurang ajar” (Mal 3:13) atau “memfitnah/menuduh” (1Pet 2:12; 3:16).

Mengingat arti katalalew sangat luas, kita harus menyelidiki artinya berdasarkan konteks. Dalam Yakobus 4:11 terjemahan LAI:TB “memfitnah” hampir dapat dipastikan salah. Kata ini muncul 3 kali di ayat 11. Pada pemunculan yang terakhir kata ini dihubungkan dengan hukum (LAI:TB “mencela hukum”). Di sinilah letak ketidak-konsistenan terjemahan LAI:TB, karena dua pemunculan yang pertama diterjemahkan “memfitnah”, sedangkan yang terakhir dipakai “mencela”. Kita lebih baik menerjemahkan semua katalalew di ayat ini dengan “mencela”. Arti ini sesuai untuk frase “mencela hukum” (kita tidak mungkin “memfitnah” hukum). Selain itu, arti ini juga cocok dengan ungkapan Yakobus yang menghubungkan orang yang mencela (katalalew) dengan orang yang menghakimi sesamanya (ayat 11 “barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya”).

Jemaat Tuhan
Ayat 11b dan 12 merupakan alasan yang diberikan Yakobus mengapa orang percaya tidak boleh saling mencela. Ada dua alasan yang saling berkaitan. 
Karena mencela saudara seiman berarti mencela hukum dan menghakiminya (ayat 11b)

Bagi Yakobus orang yang mencela (katalalew) seorang saudara sama dengan orang yang menghakimi (krinw) saudaranya itu. Dari pernyataan ini terlihat bahwa dosa mencela di sini bukan hanya berhubungan dengan cara dan isi perkataan yang kasar, tetapi juga melibatkan sikap hati yang menganggap diri lebih baik daripada sesamanya (band. 3:1; 4:6-10). Sikap hati inilah yang justru dijadikan fokus utama pembahasan oleh Yakobus di ayat 11b-12 (kata “menghakimi” atau “hakim” muncul 6 kali dalam dua ayat ini). Jadi, kesalahan mereka bukan hanya secara eksternal (mencela), tetapi juga internal (merasa diri lebih baik).

Alasan pertama mengapa kita tidak boleh mencela dan menghakimi adalah karena mencela saudara berarti mencela hukum dan menghakiminya. Apa maksud dari pernyataan ini? Sebelum menyelidiki artinya, ada baiknya kita mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum di sini. Hukum di sini kemungkinan besar merujuk pada perintah “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
1.     Dalam bagian sebelumnya Yakobus sudah memakai kata “hukum” (nomos) dan kata itu menunjuk pada hukum kasih kepada sesama (2:8, dikutip dari Im 19:18b).
2.     Dalam konteks Imamat 19:18b, hukum kasih ini juga dihubungkan dengan larangan untuk berkata-kata yang jahat kepada sesama (Im 19:16).
3.     Ungkapan “sesama manusia” di ayat 12 sebagai pengganti “saudara” di ayat 11 merujuk pada hukum kasih kepada sesama (“kasihilah sesamamu manusia”).

Walaupun yang dimaksud dengan hukum di sini berasal dari perintah Taurat, namun kita harus memahami bahwa hukum ini telah diberi makna baru dalam kekristenan. Hukum ini adalah hukum yang memerdekakan dan sempurna (1:25; 2:12).



Jemaat Tuhan
Sekarang mari kita melihat arti dari alasan yang diberikan Yakobus di ayat 11b. Orang yang mencela dan menghakimi sesama bukanlah orang yang melakukan hukum (ayat 11), karena hukum kasih melarang kita mengucapkan perkataan kasar yang menentang orang lain. Ketika kita melakukan pelanggaran ini berarti kita telah mencela hukum itu. Kita bertindak seolah-olah hukum tersebut tidak memiliki otoritas dalam hidup kita. 

Lebih parah lagi, kita bukan hanya sebagai pelanggar hukum (band. 2:9-10), tetapi hakim atas hukum itu (ayat 11). Sikap menghakimi menunjukkan bahwa kita menganggap diri lebih baik dari orang lain dan sebagai tolak ukur kebenaran, padahal tolak ukur yang sebenarnya adalah hukum itu sendiri. Dengan demikian, ketika kita menghakimi orang lain, kita telah menjadikan diri kita sebagai hakim, bukan hanya atas orang lain tetapi juga atas hukum tersebut.

Jemaat Tuhan
Setelah menyatakan bahwa orang yang mencela saudaranya telah bertindak sebagai hakim atas orang lain maupun hukum kasih, Yakobus menjelaskan siapa satu-satunya pembuat hukum dan hakim yang sebenarnya. Dalam struktur kalimat Yunani ayat 12, kata “satu” (heis) diletakkan di awal kalimat untuk memberi penekanan bahwa pembuat hukum dan hakim hanya ada satu saja.

Siapakah pembuat hukum dan hakim itu? Yakobus menjelaskan bahwa Dia adalah yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Ungkapan ini jelas merujuk pada Allah (Mat 10:28 “Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka”). Perjanjian Lama secara eksplisit menjelaskan bahwa pemberi hukum Taurat adalah Allah (Kel 24:12), walaupun orang Yahudi kadangkala menyebut Musa sebagai pemberi hukum (misalnya Philo). Allah juga sering disebut sebagai hakim dunia (Kej 18:25; Mzm 7:12; 9:5; 50:6; 75:7; 94:2; Yes 33:22). Hal yang sama juga dinyatakan secara tegas dalam Perjanjian Baru (Ibr 12:23; 1Pet 1:17; 4:5).
Ungkapan “Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan” bukan hanya berfungsi untuk menjelaskan identitas pembuat hukum dan hakim, namun juga mengingatkan penerima surat bahwa pelanggaran mereka tidak akan luput dari  penghakiman Allah. Mereka yang menghakimi akan mendapat penghakiman (Mat 7:1-2; Luk 6:37; Rom 2:1-3; 14:10).

Jemaat Tuhan
Untuk mempertegas apa yang telah disampaikan, Yakobus menutup tegurannya dengan “tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?”. Hal ini dengan tegas memberikan penekanan bahwa kita tidak bisa mencela orang lain apalagi menghakimi mereka yang bersalah seakan kitalah yang lebih benar. Yang tepat untuk kita lakukan adalah memberikan nasihat yang benar dan teladan yang baik.

Jemaat Tuhan
Bukankah dalam kehidupan ini kita lebih sering melihat kesalahan orang lain dan bahkan mencari kesalahan orang lain dari pada menyelidiki ketidak-sempuraan kita sendiri?

Firman Tuhan hari ini mengajarkan kita untuk menahan diri dari menyakiti orang lain dengan perkataan atas alasan penghakiman. Sebaliknya justru Firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk lebih mawas diri dan menyelidi kehidupan kita lebih dulu, yakni apakah kita sudah lebih baik daripada orang lain. Hal ini penting agar  kemudian sikap kita ini tidak membawa kita menjadi prfibadi yang sok suci dan sombong rohani bahkan menjadi tuhan dan hakim bagi orang lain.

Jadilah teladan kebenaran dan bukan mencari kesalahan orang lain. Jadilah Alat Tuhan yang mulia, lewat membawa orang lain menemukan kebenaran Allah dalam hidup kita, daripada seakan menjadi tuhan bagi sesama. Kiranya Tuhan memampukan kita melakukannya. Amin.