Tuesday, May 11, 2010

EKKLESIA

EKKLESIA
1 Petrus 2:1-10 (ay.9)
Konon Mahadma Gandhi, seorang tokoh Hindu di India, tertarik tentang ajaran Kristus tentang “kesetaraan semua manusia di mata TUHAN Allah”, dan berniat untuk mempelajarinya dan mengenal Tuhan Yesus. Iapun berniat ke gereja dan mencari jawabannya. Pada suatu hari minggu, Gandhi menuju ke kota dan masuk ke gereja yang terletak di tengah kota. Ia disambut oleh seorang pengurus Gereja dengan penuh keramahan. “Apakah anda ingin beribadah di sini?” tanya Sang penerima tamu. “Yah benar, dan saya berharap dapat belajar tentang ajaran Yesus tentang kesederajatan manusia tanpa pembagian kasta”, jawab Gandhi. Wah, semua gereja mengajarkan itu, tapi maaf jika bapak ingin ke gereja, jangan di sini. Sebab ini adalah Gedung Gereja khusus Non-pribumi, orang2 bribumi disediakan tempat ibadah di sudut kota” kata si penerima tamu menjelaskan dengan ramah. Betapa terkejutnya Gandhi, ia pulang langsung ke rumah dan sejak itu tak berniat lagi ke gereja apalagi mencari Kristus dan ajarannya.
Apa itu Gereja? Gereja berasal dari kata (Yun) Ekklesia, yang berarti “yang dipanggil keluar dari”. Keluar dari mana? Lihat ayat 9 bacaan kita, yakni “dari kegelapan menuju terangnya yang ajaib”. Jadi gereja, saya dan saudara, adalah kumpulan orang2 yang dipanggil keluar dari nkegelapan dosa menuju terang Kristus yang ajaib. Apa tugas gereja? Masih diayat yang sama, yakni: “... memberitakan perbuatan2 yang besar dari Dia”. Jadi gereja, dipanggil untuk menjadi saksi tentang Kasih Kristus bagi dunia dan perbuatannya bagi kita.


Ini berarti, pemuda gereja diajak sebagai gereja bukan untuk menjadi batu sandungan bagi orang lain, seperti kisah di atas, namun sebaliknya dapat menjadi teladan dan alat Tuhan agar orang lain dapat berjumpa dengan Kristus. Bagaimana caranya? Lihat ayat 1-3, yaitu berupaya untuk melakukan kebenaran; hidup dalam pembaharuan oleh Kristus; dan melekat pada Kristus dan juga pada umat yang lain untuk membangun bagunan Rohani Gereja. Dengan melakukan ini Gereja dapat dilihat orang, bukan karena gedungnya yang adalah benda mati, tapi karena bangunan itu hidup dan menjadi Ekklesia yang baru bagi kemuliaan Tuhan Yesus. AMIN

AMON DAN TAMAR

AMNON DAN TAMAR

“Hati-hatilah Terhadap Cinta Yang Buta” (2 Samuel 1-22)

Pendahuluan

Cerita ini adalah “kisah drama keluarga” yang terjadi dalam dinasti Raja Daud. Terdapat 2 (dua) tokoh utama yakni Amnon dan Tamar; dan 2 (dua) tokoh peran pembantu yakni Absalom dan Yonadab. Siapakah ke-4 tokoh tersebut? Berikut ini sedikit informasi tentang mereka (bd. 2Sam.3:2-5):

- Amnon adalah Putera sulung Raja Daud yang lahir dari rahim Ahinoam, seorang perempuan Yizreel

- Absalom adalah Putera ketiga dari Raja Daud dari Maakha yakni anak perempuan dari Talmai, Raja Gesur

- Tamar adalah adik kandung Absalom (ay.1)

- Yonadab adalah sepupu Amnon yang juga adalah sahabatnya, anak dari Simea, kakak Raja Daud.

Pada setting latar penokohan inilah, kisah tragis Tamar dipaparkan dalam cerita ini.

Eksegese Teks

(ay.1,2) Dimulai dengan menjelaskan hubungan antara Absalom, Amnon dan Tamar, sebagaimana disebutkan di atas. Amnon jatuh cinta kepada adik tirinya (sebapak, lain ibu) ini. Cinta yang begitu kuat dan amat sangat, sehingga iapun jatuh sakit karenanya. Dalam ayat 2 kita menemukan bahwa alasan Amnon jatuh cinta dan tergoda itu adalah “…mustahil melakukan sesuatu terhadap dia” (ay.2b). penekanan “tergoda” dan “masih perawan” dalam ay.2 ini menyimpulkan bahwa alasan birahi-lah yang menyebabkan Amnon jatuh cinta hingga jatuh sakit dan bukan karena “ketulusan cinta”. Mengapa “Mustahil”? sebab adalah terkutuk jika seorang laki2 tidur dengan anak perempuan ayah atau anak perempuan ibunya (lih.Ul.27:22). Bahkan, jangankan “tidur bersama”, menyingkapkan auratnya pun adalah dosa (bd. Ul.27:22).

(ay.3-5) Siapa Yonadab? Ia adalah anak Simea (Syama) yang merupakan kakak dari Raja Daud. Mengenai Simea ini, Alkitab mencatat bahwa TUHAN sendiri tidak berkenan kepadanya, secara khusus, dalam hal ketika pemilihan Raja pengganti Saul (bd. 1.Sam.16:9). Dan justru dari “orang cerdik” inilah, yakni Yonadab, Si Amnon mendapat solusi untuk masalah cintanya itu. Cinta buta itu “membutakan” segalanya, termasuk akal sehat Amnon ketika tidak mampu memilah dan membedakan mana nasehat yang benar dan mana yang justru menghancurkan.

(ay.6-14) Segala daya dan upaya yang dilakukan oleh Amnon menunjukkan bahwa perbuatannya tidaklah main-main. Nafsu birahi yang tak tertahan dan begitu kuat menggoda membuatnya tidak berpikir lagi apakah hal itu merupakan dosa dan kekejian bagi TUHAN (bd.ay.12); ataupun menghiraukan rengekan mengiba minta pengasihan dari adiknya dalam hal masadepan seorang perempuan yang diperkosa (bd.ay.13-14). Tamar akhirnya diperkosa, Amnonpun terpuaskan.

(ay.15-19) Cinta berubah menjadi benci (ay.15). Hal ini disebabkan, sebagaimana diuraikan sebelumnya, dasar cinta Amnon justru adalah nafsu birahi dan bukan ketulusan. Setelah birahinya terpuaskan, selesai sudah keinginan untuk mencintai. Bahkan bukan itu saja, cinta yang berubah menjadi kebencian itu sangat sadis dan tidak toleran lagi pada kondisi adik perempuannya itu. Dengan bengis dan tanpa perasaan, Tamar diusir bak sampah atau sesuatu yang tak berguna lagi.

Nasib Tamar dapat ditebak (ay.19). Ia merasa tak bernilai lagi, ia meratap dan berkabung. Sikap Tamar ini, sama dengan sikap perkabungan seorang istri (orang Israel) yang ditinggal mati suaminya.

(ay.19-22) Menarik untuk diperhatikan bagaimana sikap Daud sebagai Raja menghadapi kasus ini, apalagi yang menimpa bukan saja pada rakyatnya tapi justru pada anak perempuannya sendiri. Pada ay.21 disebutkan Daud marah, namun tidak diuraikan tindakan apa yang diambil termasuk pada ayat2 seterusnya. Seakan kasus ini di”putihkan” saja. Mengapa? Padahal jelas dalam Im.20:17 kasus ini adalah serius menurut TUHAN dan hukumannya amatlah berat. Mengapa Daud bersikap seperti itu? Sebab dosa itu (nafsu, zinah) pernah dilakukan Daun kepada kepada Batsyeba (lih. Psl.11). Perbuatan Daud itu telah melemahkan dan merusak kemampuannya untuk mendisiplinkan anak2nya dan mengatur rumah tangganya sendiri. Teladannya yang kurang baik menghancurkan pengaruh moralnya atas orang-orang yang diasuhnya. Daud memang benar bukan tanpa cela dan pasti menanggung malu atas perbuatannya (Ams.6:32-33), namun tidak berarti, hal itu, menjadi alasan untuk tidak menegur kesalahan orang lain. Akibat dosa bukan saja mendatangkan murka Allah, namun juga menjadi batu sandungan kelak bagi orang lain dan diri kita sendiri.

Aplikasi / Penerapan (untuk didiskusikan)

1. Benarlah apa yang dikatakan Pengkotbah bahwa “cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya… seperti nyala api TUHAN!” (bd.8:6,7). Demikian cinta (eros) Amnon yang akhirnya membawa pada kejahatan. Bagimana sikap dan cara anda menghadapi kekuatan cinta yg dasyat yang berujung pada kejahatan? (bd. Rm.12:21)

2. Siapapun, termasuk kita orang muda, bisa mabuk kepayang karena cinta. Mencintai seseorang adalah suatu anugerah TUHAN. Namun bagaimana kita mengatur, membentuk dan memelihara cinta itu untuk dan bagi orang lain agar tidak menghadirkan dosa perzinahan dan percabulan seperti Amnon? (bd. 1.Kor.13:1-13; 1.Kor.6:12-20)

3. Kejahatan (baca=dosa) terjadi karena ada kesempatan dan keinginan. Disekitar kita penuh dengan godaan dan tidak sedikit peluang (baca=kesempatan) untuk berbuat dosa, termasuk dosa seperti perbuatan Amnon. Hanya butuh sedikit keinginan (baca=keberanian) maka dosa pasti terjadi, sebab begitu banyak kesempatan yang menggoda. Bagaimana anda mengendalikannya agar dapat memandamkan keinginan dosa? [(bd. Kej.39:1-10 (ay.9-10)].

4. Hati-hati dalam pergaulan. Sahabat karib sekalipun dapat menjerumuskan kita ke dalam dosa, sebagaimana Yonadab terhadap Amnon. Bagaimana cara anda melakukan pertemanan secara baik dan benar sesuai Firman Tuhan? (bd. Ams.20:19; Ams.13:20;1Kor.5:9-11; 2Tes.3:14-15).

Catt: ayat-ayat dalam kurung adalah pembanding dalam diskusi.

Selamat Berdiskusi

Membalas kasih dengan kebencian adalah kejahatan

Membalas kasih dengan kasih adalah manusiawi

Membalas kebencian dengan kasih, itulah yang Ilahi

MEMBAHARUI PERJANJIAN

MEMBAHARUI PERJANJIAN

(Yosua 24:1-24)

Pendahuluan

Kisah ini terjadi disaat Israel telah berhasil menduduki dan mendiami Tanah Perjanjian beberapa waktu lamanya, dan di saat itu, pepimpin mereka, yakni Yosua telah menjadi tua dan lanjut umurnya (bd.23:1). Merasa bahwa masa tugasnya hampir berakhir, dan kematiannya sudah dekat maka Yosua mengumpulkan seluruh orang Israel termasuk para pemimpin tiap suku2nya untuk menyampaikan pidato perpisahan.

Dalam tradisi Israel, sebagaimana bangsa2 purba pada umumnya, pidato perpisahan seorang pemimpin yang berisi nasehat, ucapan berkat, wejangan hikmat dll, adalah wajar dan selalu dilakukan sebelum sang pemimpin meningalkan para rakyatnya (bd. Kej.49; Ul.32,33).

Pidato perpisahan Yosua ini terbagi dua bagian, yang pertama di pasal 23 dan bagian kedua dipasal 24 sebagai bahan PA kita. Yosua 24:1-8 ini bukan hanya berisi pidato perpisahan Yosua tapi juga berisi pembaharuan perjanjian Umat Israel kepada Allah yang pernah mereka lakukan di Sinai, yang saat ini dibaharui di Sikhem. Mengapa perlu diperbaharui? Karena Yosua mendapati bahwa dalam perjalanan waktu, umat telah menghianati janji setia mereka dan banyak melakukan kesalahan kepada TUHAN sehingga mereka jatuh ke dalam dosa (bd. Misl pasal 7 dll)

Eksegese Teks

(ay.1) Yang dipanggil oleh Yosua untuk membaharui perjanjian mereka dengan Allah adalah semua orang.

(ay.2-13) ayat 2a merupakan bagian Pembukaan yang menekankan siapa pembuat pejanjian itu yakni TUHAN Allah Israel. Selanjutnya ayat 2b-13 berisikan tentang kilas balik tentang Kasih Setia TUHAN yang telah dilakukanNya bagi umat Israel, mulai dari nenek moyang mereka Abrahan (bd. ay.2b) hingga mereka sampai dan mendiami serta menikmati Tanah Perjanjian yang diberikan TUHAN Allah mereka kepada umat perjanjian-Nya (bd. ay.13). Maksud dari prolog historis ini adalah untuk mengingatkan umat Israel tentang berbuatan Allah bagi mereka, kebaikan, kesetiaan dan kemurahan TUHAN Allah yang tak berkesudahan bagi mereka.

(ay.14-15) Setelah seluruh alur mundur ini disampaikan sebagai suatu kisah dan kesaksian bagi umat Israel tentang siapa TUHAN Allah mereka itu, maka Yosua menyampaikan ketentuan yang merupakan ketetapan Allah untuk mereka kerjakan dan laksanakan. Hal yang dituntut TUHAN Allah bagi umat Israel melalui pidato Yosua ini adalah janji setia umat untuk hanya beribadah kepadaNya, sebagaimana kesetiaan-Nya yang tak pernah luntur bagi umat kepunyaan-Nya. Umat dituntut untuk menjauhkan allah lain seperti allah nenek moyang mereka dulu beribadah, baik di seberang sungai efrat maupun di mesir (bd. Ay.14).

Menarik untuk disimak bahwa Yosua cukup bijaksana untuk mengetahui bahwa ada kemungkinan untuk memilih beribadah (bd. ay.15). Umat Israel diminta untuk membuat pilihan dari 3 (tiga) pilihan “sesembahan” yang nantinya sebagai pusat beribadahan mereka. Pilihan-pilihan itu adalah: (1) allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat; (2) allah orang Amori yang negerinya kamu diami; (3) atau beribadah kepada TUHAN Allah. Umat diberikan kesempatan untuk menjatuhkan pilihan.

Sebelum umat menyatakan pilihan mereka, Yosua dengan mantap menyatakan pilihannya yang pasti dan tidak dapat diganggu-gungat: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!”

Perhatikan kalimat ini, dan bayangkan cara Yosua mengucapkan pilihannya. Pastilah dengan suara lantang, dan ini yang penting, yakni dengan sikap berdiri di hadapan Allah (bd. Ay.1b). Pilihan itu berarti bukan sekedar pilihan tetapi sudah merupakan janji yang disampaikan di hadapan Allah.

(ay.16-18) Umat kemudian melakukan pilihan bahwa mereka pula tetap setia dan beribadah hanya kepada TUHAN Allah. Umat bukan sekedar membuat perjanjian, namun mengerti benar pilihan mereka itu lewat memberikan uraian alasan mengapa pilihan itu dilakukan, yakni mengaminkan apa yang dikatakan TUHAN melalui Yosua dalam prolog historis tadi (bd. Ay.17,18).

(ay.19-20) Tidaklah mudah untuk melaksanakan perjanjian seperti begitu mudah diucapkan lewat mulut. Yosua mengenal bangsa itu, sehingga ia mengajukan keraguannya, bahwa sulit bagi mereka untuk melakukan apa yang barusan diucapkan (bd.ay.19). Selanjutnya Yosua mengajukan tantangan, bahwa jika mereka ingkar janji dan selanjutnya meninggalkan TUHAN Allah dan beribadah kepada allah asing, maka TUHAN tidak akan mengampuni mereka, bahkan akan membalas mereka, meninggalkan mereka serta membinasakan mereka (bd. Ay.20).

Ia menyatakan bahwa TUHAN Allah itu kudus dan merupakan Allah yang cemburu, yang menuntut keseriusan, kesetiaan umat serta tidak memandang sepele ucapan janji itu. Adalah dosa tak terampuni jika mereka menghianati Allah. Pemahaman ini penting untuk diketahui umat.

(ay.21-24) Umat Israel menjawab tantangan itu dengan pasti: “…hanya kepada TUHAN saja kami akan beribadah”. Ketetapan hati umat ini dipastikan hingga 2x mengucapan janji (ay.24) dan mereka bersedia menjadi saksi bagi janji mereka sendiri. Itu adalah pilihan yang tepat.

Aplikasi / Penerapan (untuk didiskusikan)

1. Memasuki tahun baru, tahun anugerah 2010, saatnya kita perlu merenungkan ulang perjalanan waktu tentang berbagai hal yang telah saudara alami dan lakukan. Saatnya pula merenungkan pekerjaan TUHAN dalam hidup kita setahun berselang. Mengingat, merenungkan, perjalanan historis masing-masing hidup kita bersama TUHAN kita dapat menyimpulkan tentang siapa Dia dalam hidup saudara. Siapakah TUHAN Allah, yang kita sebut Bapa dalam Yesus Kristus itu dalam hidup saudara? (bd. Mazm.34:9-11; 121:1-8; Rat.3:20-26)

2. Jika jawaban no 1 adalah Allah itu baik, selalu setia, Penolong, dll, maka perlu juga untuk kita renungkan ke tingkat lebih tinggi melalui sebuah pertanyaan: “seberapa baik, setia kah Allah dalam hidup saudara dilintasan waktu yang sudah kita lewati setahun ini?” (bd. Mzm.139:1-18; Ef.3:18,19).

3. Apa pandangan saudara tentang “Pembaharuan Janji” dan mengapa permbaharuan janji begitu penting dalam bacaan kita? Masih relevankan hal itu dilakukan?

4. Kita tidak pernah tahu akan hari esok, termasuk apa yg akan dialami ditahun baru ini. Bagaimana kita menjalani tahun baru ini diujung jalan yang masih tersembunyi tersebut? (Ul.28:1-14; Mat.6:25-34; Rm.8:28; Flp.4:13).

TUJUH KALIMAT DI KAYU SALIB

TUJUH PERKATAAN YESUS DI KAYU SALIB[1]

“Suatu Upaya Memaknai Tujuh Ucapan Yesus Di Kayu Salib Dan Relevansinya

Bagi Umat Percaya Saat Ini”

Oleh: Pdt. I Nyoman Djepun. S.Th

Pendahuluan

Di atas kayu palang berbentuk salib, tubuh lemah itu terkulai seakan tanpa daya. Tak satupun dari tubuhNya kering tanpa bercak darah yang melekat mengental bersama debu dan tanah. Di kayu palang itulah Sang Penebus dosa mengucapkan tujuh kalimat terakhir sebelum menghembuskan nafasNya. Tersirat banyak makna, terkandung banyak arti dan membawa banyak pesan bagi setiap umat percaya yang mendengarkan. Tujuh perkataan Yesus ini perlu direnungkan dan masih relevan dengan hidup orang beriman dewasa ini.

KATA SALIB 1: YA BAPA AMPUNILAH MEREKA, SEBAB MEREKA TIDAK TAHU APA YANG MEREKA PERBUAT (Luk.23:34)

Di atas kayu salib itu Yesus menyeruhkan pengampunan untuk semua mereka yang terlibat menyakitiNya. Dalam doa yang tulus, di tengah rasa sakit yang ditimpakan mereka justru Yesus berdoa bagi mereka. Adalah sulit untuk mengampuni, apalagi mengampuni mereka yang menghianati kita. Namun doa itu pertama-tama untuk Yudas, Petrus dan selanjutnya orang Yahudi di sekitar Salib Yesus. Pengampunan adalah kunci kelegaan, pengampunan adalah jalan masuk bertemu dengan Kasih Allah.

Dalam suatu kesempatan bersama para muridNya, ketika Yesus sedang mengajar, Petrus datang dan bertanya kepadaNya: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (Mat.18:21). Berbicara soal pengampunan bagi sesama, pertanyaan inipun mungkin menjadi pertanyaan banyak orang. Jika harus mengampuni sesama seperti yang dilakukan Yesus, maka pertanyaan yang muncul adalah: sampai kapan hal itu dilakukan? Berapa kali hal itu diberikan kepada orang yang sama jika dia melakukan kesalahan yang berulang? Yesus memberikan jawaban yang menarik. Katanya: “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat.18:22). Secara matematis, jumlah pengampunan yang diberikan berdasarkan pernyataan Yesus adalah 70x7=490 kali. Namun jika dipahami berdasarkan makna kata, hal itu dapat berarti kegiatan yang berlangsung terus tanpa akhir. Perhatikanlah penggunaan kata “kali” dan konfigurasi 70 dan 7 dalam kalimat itu jika kita tuangkan dalam bentuk angka, akan menjadi 70 x 7 x. Tanda matematis “X” (kali) menjadi penutup dan bukan angka “7” hal ini sekaligus memberi kesan “belum selesai” di situ.

Mengampuni orang yang bersalah adalah sulit, namun lebih sulit lagi ketika kita diminta untuk berdoa bagi mereka. Yesus mengatakan hal itu ketika Ia sedang mengajar. Katanya: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat.5:44). Ia tidak hanya mengajarkan hal itu, namun mempraktekkan perkataan tersebut di atas Kayu Salib. Ia berdoa bagi mereka yang menganiayaNya. Bagaimana dengan kita??

KATA SALIB 2: AKU BERKATA KEPADAMU, SESUNGGUHNYA HARI INI JUGA ENGKAU AKAN ADA BERSAMA-SAMA DENGAN AKU DI DALAM FIRDAUS (Luk. 23:43)

Dalam penyesalan, seorang penjahat yang tersalib bersama Yesus memohon: “Jangan lupakan aku Yesus, jika Engkau datang sebagai Raja”. Kepastian diterimanya ketika Yesus menjanjikan Firdaus saat itu juga bagi ketulusan, penyesalan dan iman orang berdosa itu. Hanya dengan ketulusan dan penyesalan kita mendapatkan pengampunan. Dalam pengampunan itulah kita menemukan Hidup Kekal, Firdaus yang dijanjikan.

Mengapa Firdaus dengan pasti dijanjikan Yesus untuk penjahat itu? Perhatikanlah Luk.23:40-41 tentang ucapan awal penjahat itu. Kesadaran bahwa ia bersalah, rasa sesal atas salah dan tau bahwa ia layak menerima hukuman, hal itulah yang tergambar di sana. Dibutuhkan pengakuan, penyesalah dan permohonan, maka pengampunan Allah diberikan, sehingga hidup kekal menjadi milik kita. Tanpa penyesalah dan pertobatan, mustahail ada pemulihan dan pengampunan. Selama masih mengaggap diri benar tanpa menyadari kesalahan, siapapun tidak akan mendapat pengampunan apalagi janji hidup kekal di Firdaus.

KATA SALIB 3: IBU INILAH ANAKMU! INILAH IBUMU! (Yoh.19:26,27)

Dalam deritaNya di Salib, Yesus menyebut Ibunya untuk sampaikan deritaNya. Kasih dalam ikatan keluarga adalah juga sumber kekuataNya. Ia tahu di derai air mata IbuNya, ada bait Doa yang tak putus dinaikkan. Ia amat tahu bahwa orang tua dan saudaranya yang saat itu tersedu dalam getir, menangis dalam duka, namun justru sedang menopangNya dengan iman. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus sadar Ia memiliki dan dimiliki keluarga. Rasa saling memiliki satu dengan yang lainnya ditunjukkan dalam peristiwa ini. Makna ini semakin jelas kita kita telusuri ulang Kalimat ketiga ini dalam Yoh.19:26-27, yang berbunyi:

“Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia

kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya:

"Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.

Secara tidak langsung Yesus ingin mengatakan “inilah anakmu yang saat ini menderita” dan sekaligus menitipkan kelangsungan hidup ibuNya kepada para murid. Di tengah derita itu, Yesus masih memikirkan keberadaan orang lain dan kebahagiaan mereka. Mungkin ungkapan yang tepat adalah: Yesus bukan tergolong sebagai “kacang yang lupa pada kulitnya”. Penghormatan kepada orang tua Ia junjung teguh sebagaimana Firman BapaNya: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel.20:12).

KATA SALIB 4: ALLAHKU ALLAHKU MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU (Mat.27:46)

Pernakah saudara merasa di tinggalkan, seakan seorang diri menghadapi hidup ini? Yesus melihatnya secara berbeda. Ia mewakili seruan manusia yang membutuhkan Allah. Dalam derita yang tak tertahan, dalam hinaan keji, Ia merasa ditinggalkan justru oleh BapaNya. Namun, Sang Bapa tak bergeming. Tak mampu menjawab, air mata kudus membasahi keheningan sorga, namun misi itu harus berlanjut.

Demi sebuah tujuan mulia, Allah mengijinkan suatu peristiwa menimpa kita, walau itu terpahit sekalipun. Dan itu yang dialami Yesus. Kita diajak untuk mengerti “bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,... (Rm.8:28). Segala sesuatu termasuk persoalan hidup, penghianatan dan tantangan. Ia akan turut bekerja dan mengubahnya menjadi sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Kapan? Jawabnya: Sesuai waktu Allah, segala sesuatu itu akan indah akhirnya (Pkh.3:11). Bagaimana cara Allah bekerja di tengah gumul juang hidup yang dialami? Paulus mengatakan: " Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku... Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor.12:9-10).

Persoalan yang amat penting adalah cara pandang situasi itu. Kita bisa bertanya kepada Allah, dan mempetanyakan di mana Dia saat pergumulan dihadapi. Itu hal yang wajar, sebab bukankah Dia adalah Bapa kita. Yang tidak wajat adalah ketika sungut-sungut menjadi yang utama dan bukan penyerahan diri. Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu .... Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya (1Kor.10:13).

KATA SALIB 5: AKU HAUS (Yoh.19:28)

Bukan sekedar haus akan air, ketika dehidrasi Yesus alami dalam penyaliban itu. Namun ia mewakili semua mereka yang menderita, yang butuh pendampingan dan uluran Kasih. Yang Haus perlu di beri minum, yang lapar perlu diberi makan. Ada banyak Yesus lain saat ini yang lapar dan haus, dan berseru di depan mata saya dan saudara... AKU HAUS. Hal ini menjadi suatu peringatan bagi kita untuk belajar peduli bagi orang lain, mengambil bagian dalam pekerjaan Ilahi untuk menjadi kawan sekerjaNya. Bukankah Yesus pernah berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat.25:40).

Kita perlu mengembangkan Sense 0f humanity yntuk orang lain. Mari belajar berbela rasa, dan bukan sekedar simpati melainkan berikan empati yang tulus. Sebuah ungkapan dari bahasa latin berbunyi: sedare dolorem opus divinum est, yang artinya “meringankan penderitaan adalah pekerjaan Ilahi. Itulah tugas kita selanjutnya!

KATA SALIB 6: SUDAH SELESAI (Yoh.19:30)

Misi Kristus di dunia telah selesai. Namun tanggung jawab kita masih perlu dilanjutkan. Salib masing-masing kita masih harus dipikul. Ikut Dia adalah pilihan yang tepat. Lanjutkan karyaNya di dunia adalah panggilanNya bagi kita yang telah ditebus.

Misi itu perlu dilanjutkan sebagaimana amant agung yang pernah Ia sampaikan: “...Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu (Mat.28:19-20). Lanjutkan misi Kristus sebab Yesus telah selesai. Kita baru memulai....

KATA SALIB 7: YA BAPA, KE DALAM TANGANMU ‘KU SERAHKAN NYAWAKU (Luk.23:46)

Dalam kepasrahan diri dan penyerahan hidup Yesus mengakhiri dan menyelesaikan misiNya. Ke dalam tangan BapaNya Yesus akhir hidup dan pelayananNya. Perlu penyerahan diri di hadapan Allah. Rela menanggalkan kepentingan dunia, untuk jalankan kehendakNya. Serahkan hidup padaNya untuk lanjutkan hidup yang lebih mulia.

Selamat Paskah 2006



[1] Disampaikan sebagai Pengantar Diskusi dalam acara Perayaan Paskah Persekutuan Dosa PT.Trakindo Utama Sangatta. Bukan bahan final karena itu materi ini tidak untuk DIPUBLIKASIKAN. Untuk kalangan sendiri.

LEBIH DARI PEMENANG

A. Pendahuluan

Menurut kesaksian Perjanjian Lama, hari raya Paskah dilakukan untuk memperingati pembebasan umat Allah dari perbudakan di Mesir. Hal itu dengan jelas kita baca dalam Keluaran 12:11-18. Umat Israel tahu, bahwa YHWH (Yahwe), dengan tulah yang Ia adakan pada bangsa Mesir, maka Allah akan “melewati” (bhs Ibrani = pesakh, bnd. Ayat 13) mereka. Implikasihnya, Allah akan “melindungi” mereka dari kematian. Makna Paskah bagi umat Kristen saat ini dalam terang Perjanjian Baru, mendapat arti yang baru yang dihubungkan dengan kebangkitan Yesus Kristus. Karena itu Paskah bagi kita adalah perayaan untuk memperingati kebangkitan Yesus Kristus yang dengannya telah “melewatkan” (bhs.Ibrani = pesakh) kita dari kematian kekal sebagai hukuman karena dosa.

Kebangkitan Kristus (baca=Paskah) dan mengorbananNya itu bagi umat manusia disebabkan karena satu motif utama yakni karena Kasih-Nya bagi kita (Yoh.3:16). Kasih yang sama itu pula yang memungkinkan kita menjadi lebih dari pemenang (Rm.8:37) karena Dia adalah Pemenang yang sesungguhnya (Why.6:2). Bagaimanakah hal ini dimengerti dan dimaknai dalam perjalanan iman orang percaya saat ini ketika berada di tengah “perjuangan” hidupnya? Bagaimana proses menjadi “lebih dari pemenang” itu kita jalani? Kiranya tulisan di bawah ini membantu saudara menemukan jawabannya.

B. Menjadi Pemenang (tanpa istilah “lebih dari”) adalah Sebuah Proses Anugerah

Bicara soal pemenang berarti menyangkut pula tentang proses menjadi pemenang. Proses yang dimaksud bisa berarti perlombaan, perjuangan, peperangan dsb yang melibatkan lebih dari satu pihak. Itulah sebabnya sebelum sampai pada ayat 37, Paulus dalam suratnya kepada Jemaat Roma khususnya pada pasal 8 ayat 31, memulai dengan suatu pertanyaan “siapakah lawan kita?” Dengan kata lain kemenangan yang diperoleh dalam perjuangan itu didasarkan atas perlawanan kepada/dengan siapa? Siapakah objek atau lawan yang telah dikalahkan itu? Pertanyaan ini penting untuk dijawab dalam rangka menunjukkan identitas kita sebagai pemenang (pemenang atas apa?).

Kemenangan atas apa? Menurut Paulus terdapat 2 kelompok lawan yang atasnya kita telah menang atau yang tidak sanggup melawan kita lagi. Pertama, penderitaan-penderitaan sementara (ay.35). Penderitaan-penderitaan dimaksud adalah penindasan, penganiayaan, kesesakan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya (1kor.15:30), dan pedang (baca=peperangan). Kedua, kuasa-kuasa (ay.38-39). Kata-kata ini menyebut musuh-musuh yang amat ditakuti pada abad pertama oleh orang-orang yang berbudaya Yunani termasuk jemaat di Roma. Musuh-musuh ini dianggap memiliki kekuatan gaib atau supra-natural yang jahat untuk menguasai hidup dan nasib manusia. Tirani ilmu nujum dan ketakutan yang mendatangkan keputusasaan ini telah membawa hidup manusia ke dalam cengkraman “nasib” yang tak berbelas-kasihan. Dengan kata lain, 2 musuh yang dimaksud Paulus adalah musuh yang menyerang jasmani dan rohani umat Tuhan. Terhadap kedua jenis musuh inilah umat Tuhan telah dimenangkan. Itulah pula identitas kita sebagai pemenang, yakni yang menang terhadap penyerang jasmani dan rohani kita.

Lebih lanjut, pertanyaan yang tidak kalah pentingnya untuk dijawab adalah: “atas dasar apa Paulus maupun umat Tuhan mengklaim diri sebagai pemenang yang telah mengalahkan musuh-musuh tersebut?” Perhatikan ayat 34 yang dinyatakan Rasul Paulus lewat bentuk pertanyaan semunya. Kemenangan yang diklaim oleh Paulus yang juga dinikmati umat percaya, terjadi berdasarkan kemenangan Yesus Kristus melalui kematian dan kebangkitanNya. Dengan kata lain kuasa kebangkitan Yesus Kristus atau Paskah adalah momentum kemenangan umat percaya atas musuh-musuhnya. Hal ini lebih tegas dinyatakan Rasul Paulus dalam Ef.1:20-23 bahwa lewat Paskah (kebangkitan Yesus Kristus) segala pemerintah, penguasa dan kekuasaan kini dan akan datang, telah tunduk dibawah kaki Kristus. Kemenangan yang sama itu pula telah menjadi milik setiap orang yang percaya kepadaNya (bd. Ef.1:22-23).

Dengan demikian kita dapat simpulkan bahwa kemenangan orang percaya, termasuk saya dan saudara, atas musuh-musuh umat Tuhan, diperoleh bukan karena perjuangan kita melainkan karena kuat Kuasa dan Kasih Yesus Kristus Penyelamat yang Agung dan Besar. Sekali lagi itu terjadi bukan karena usaha kita, melainkan semata-mata karena Kasih Karunia Allah (sola-gracia) yang dianugerahkan bagi kita. Kemenangan ini adalah hadiah cuma-cuma atau anugerah yang gratis namun mahal harganya. Penggenapan kemenangan ini adalah bahwa ‘Allah menjadi semua di dalam semua’ (1Kor.15:24-28). Artinya bahwa kemenangan ini bukan pertama-tama kemenangan kita, melainkan adalah kemenangan Allah karena Dialah kemenangan yang sejati itu. Konsekuensi logisnya adalah bahwa hanya Dia sajalah yang harus dimuliakan dan diagungkan ketika kita telah mengecap kemenangan atas musuh-musuh yang merongrong kehidupan iman kita. Saudara dan saya diajak untuk tidak bermegah diri atau menjadi angkuh atas kemenangan itu, sebab tindakan itu sama halnya dengan upaya “mencuri” kemuliaan Tuhan. Jika musuh-musuh itu tidak mampu melawan kita, maka biarlah itu menjadi puji-pujian dan hormat untuk kemuliaan Allah Bapa dalam Yesus Kristus.

C. Menjadi “lebih dari” Pemenang adalah Tindakan Imani terhadap Anugerah Allah

Menarik untuk disimak bahwa istilah “lebih dari pemenang” (LAI= lebih dari pada orang-orang yang menang; NIV= we are more than conquerors) dalam ayat 37, tidak lazim digunakan untuk menunjuk pada hasil perjuangan. Istilah yang harusnya lazim digunakan adalah pemenang, juara, atau penakluk dan tidak pernah ada penambahan kata keterangan “lebih dari”. Tetapi mengapa justru istilah ini (“lebih dari”) dipakai Paulus? Apakah ada perbedaan maksud Paulus tentang “pemenang” dan “lebih dari pemenang”?

Saya yakin bahwa Paulus tidak bermaksud mengatakan bahwa musuh-musuh tersebut telah hancur dan mereka telah menderita kekalahan. Sebab jika memang kelaparan, ketelanjangan, kesesakan, penindasan dsb telah dikalahkan atau tidak mampu lagi melawan pengikut Kristus, lalu mengapa orang Kristen justru masih banyak mengalami kelaparan, ketelanjangan, penindasan dan sebagainya itu? Di sinilah letak rahasia besar dibalik istilah “lebih dari pemenang” yang dipakai oleh Paulus untuk orang-orang yang percaya kepada Kristus. Artinya, bahwa segala persoalan hidup tetap ada di sekitar hidup orang percaya, selama kita masih berada di dalam dunia, namun kita memiliki pengharapan iman bahwa kita akan menang atasnya melalui kuasa Kebangkitan Yesus Kristus (paskah).

Perhatikanlah bahwa anugerah kemenangan itu kita terima atas segala bentuk penderitaan dan pergumulan hidup dan bahkan atas berbagai kuasa apapun di dunia ini. Sebagai pemenang, kita hanya akan mampu disebut “lebih dari pemenang” apabila Anugerah itu kita nyatakan dalam tindakan imani kita sehari-hari. Bagaimana hal itu dimengerti? Paulus adalah contoh kongkrit dari Pribadi yang menjadi “lebih dari pemenang” dalam hal tindakan-tindakan imaninya menghadapi kesulitan hidup. Paulus menyebut berbagai penderitaan yang ia hadapi sebagai pengikut Kristus dalam 1Kor.4:11 antara lain rasa lapar, haus, dipukul dan hidup mengembara. Ia bisa saja mengalahkan rasa lapar, haus dan berbagai penyiksaan itu dengan sekejap lewat berhenti menjadi pemberita Firman. Ia pasti akan mendapat berbagai fasilitas pemerintahan Romawi waktu itu dan bahkan mungkin hidup mewah menjadi bagiannya. Dan jika ia lepas dari semua penderitaan itu bukankah itu berarti ia telah menjadi pemenang terhadap rasa lapar dan haus melalui berbagai kelimpahan material? Bukankah itu benar? Tapi lihatlah, Paulus tidak memilih jalan itu! Ia tetap memberitakan Firman dan hidup dalam kebenaran Allah. Inilah yang dilakukan Paulus sebagaimana tertulis dalam ayat 12 dan 13 surat 1Kor.4, yakni: “...Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami menjawab dengan ramah...” Inilah contoh hidup sebagai seorang pemenang yang berkarakter “lebih dari pemenang”. Paulus tahu bahwa oleh Anugerah Paskah penderitaan2 itu telah dikalahkan. Apa yang ia imani itu dinyatakan lewat tindakan imani (perbuatan nyata) untuk tidak mau kalah oleh penderitaan itu, namun sebaliknya tetap berjuang di jalan yang benar, kendatipun seakan-akan penderitaan itu kelihatan menang. Paulus menjadi pemenang yang “lebih dari sekedar pemenang” bukan karena ia mengalahkan musuh-musuhnya, tetapi dengan cara apa ia menjalani penderitaan-penderitaan itu.

Sebenarnya, apakah tujuan dari musuh-musuh, yang diuraikan di atas, hadir dalam kehidupan orang percaya? Perhatikan bacaan kita pada ayat 35 dan 39b “...memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus...” Jadi kemenangan musuh-musuh kita bukan soal bagaimana mereka telah membuat kita menderita sebagai pengikut Kristus, tetapi lebih dalam dari itu adalah bagaimana penderitaan-penderitaan itu akhirnya memisahkan kita dari Kasih Allah. Anda pasti masih mengingat kisah Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang dilaporkan dalam Daniel pasal tiga. Mereka mendatangkan kegeraman Raja Nebukadnezar dengan menolak bersujud dan menyembah patung yang dibuatnya. Raja menyatakan dengan jelas bahwa jika sekali lagi mereka menolak, maka akan dicampakkan ke dalam “perapian yang menyala-nyala.” Perhatikanlah jawaban Sadrakh, Mesakh dan Abednego atas tantangan raja itu: “...Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu." (Daniel 3:17-18). Mereka bisa saja menghindarkan diri dari dapur api itu lewat tunduk pada perintah raja. Dengan demikian mereka menang terhadap penderitaan itu karena “si dapur api” tidak mampu menjamah mereka. Tetapi jika hal itu terjadi maka mereka telah terpisah dari Kasih Allah dan musuh-musuh iman mereka telah berhasil mencapai tujuannya.

Sadrakh, Mesakh dan Abednego dapat disebut sebagai Pemenang yang berkarakter “lebih dari pemenang”, bukan karena tetap hidup setelah keluar dari perapian yang menyala-nyala, namun karena perbuatan iman mereka untuk tetap percaya kepada Allah. Mungkin saudara sedang mengalami penderitaan sebagai seorang percaya saat ini: mengalami ketidak-adilan dalam berbagai keputusan pihak2 tertentu hanya karena saudara seorang Kristen; saudara sulit mendapatkan promosi untuk posisi tertentu karena anda pengikut Kristus; saudara mengalami sakit menahun yang sebenarnya bisa disembuhkan jika anda mau mampir kepadepokan paranormal yang terjamin kesaktiannya dsbnya. Saudara bisa keluar dari persoalan itu dengan mudah melalui banyak jalan pintas, dan akhirnya saudara menjadi “pemenang” atas penderitaan-penderitaan itu. Tapi sayang, saudara telah terpisahkan dari Kasih Kristus oleh penderitaan-penderitaan itu yang justru menurut saudara penderitaan-penderitaan itu telah anda kalahkan dan berlalu.

Kita percaya bahwa semua musuh-musuh iman kita, termasuk segala penderitaan hidup, sakit penyakit, ketidakadilan, kuasa-kuasa setan, kelaliman dan sebagainnya telah dikalahkan oleh Kuasa Kebangkitan Yesus Kristus (paskah). Ini memberi implikasi bahwa Allah dalam Yesus Kristus sanggup melepaskan kita dari segala bentuk penderitaan hidup dan menjadikan kita sebagai pemenang sebab Paskah telah mengalahkan semua ancaman itu. Kita diajak untuk menyerahkan diri kepada Allah dan membiarkan Ia bertidak. Penyerahan diri secara total kepada Tuhan Yesus adalah yang Ia inginkan dari umatNya. Dalam keadaan yang kelihatannya tidak terkendali sekalipun, saya percaya bahwa Ia sanggup menyelamatkan hidupku- tetapi seandainya tidak, dan pergumulan itu tetap ada, maka saya tidak akan melakukan sesuatu yang dapat memisahkanku dari Kasih Kristus. Itulah seorang pemenang yang berkarakter “lebih dari pemenang”.

D. Penutup

Melalui Paskah, Kristus telah membuktikan bahwa Ia telah mengalahkan berbagai penghalang yang akan memisahkan kita dari KasihNya. Hal ini menjadikan kita sebagai pribadi yang “lebih dari pemenang”. Menjadi “lebih dari pemenang” bukan soal siapa/apa yang kita kalahkan, melainkan bagaimana cara saudara dan saya berproses menjalani semua tantangan hidup ini dengan tidak mengijinkan iblis memanfaatkannya untuk memisahkan saudara dari Kasih Kristus. Kendatipun penderitaan hidup belum selesai kita tahu bahwa kita telah menang atasnya bahkan menjadi “lebih dari pemenang” melalui penyerahan diri dan ketaatan kepada Allah. Selamat Paskah, Kristus telah menang! Ia telah bangkit. Haleluya.