Saturday, February 11, 2017

KEPEMIMPINAN RASUL SIMON PETRUS

KEPEMIMPINAN RASUL SIMON PETRUS
“Upaya Mengenal Petrus dan Kepemimpinannya berdasarkan
Kisah Tentangnya dalam Alkitab”

Pdt. I Nyoman Djepun

MENGENAL SIMON PETRUS

Rasul Petrus[1] adalah seorang nelayan yang lahir di Betsaida (Yoh.1:44) dan juga memiliki rumah di Kapernaum di daerah Galilea (Mrk 1:21). Ayahnya bernama Yunus yang biasa disebut Yohanes (Mat.16:17; Yoh.1:42). Menurut catatan Alkitab, Petrus adalah pria berkeluarga (Mrk.1:30). Dan menariknya, bahwa dalam kegiatan penginjilan yang dilakukan oleh Petrus, ia selalu membawa istrinya. Hal ini terungkap dari pernyataan Paulus yang menyebut bahwa Kefas[2] dalam perjalanannya membawa seorang istri Kristen (1Kor.9:5).
Para penulis Perjanjian Baru menggunakan empat nama yang berbeda ketika mengacu kepada Petrus. Pertama adalah nama Ibrani “Simeon” (Kis. 15:14), yang kira-kira berarti “mendengar”. Yang kedua adalah “Simon”, bentuk Yunani untuk “Simeon”. Yang ketiga adalah “Kefas”, bahasa Aram untuk “batu karang”; para penulis Perjanjian Baru lebih sering menggunakan nama ini dibandingkan ketiga nama yang lain.[3]
Injil Yohanes memberitakan kegiatan Kristus pada prapelayanan-Nya di Galilea, termasuk pertama kalinya Petrus diperkenalkan oleh Andreas kepada Yesus (Yohanes 1:41). Perkenalan ini membuat lebih dimengerti tanggapan Petrus atas panggilan berikutnya di pantai Galilea (Markus 1:16 dab). Lalu menyusul penetapan 12 murid (Markus 3:16 dab). Petrus adalah murid Yesus yg pertama dipanggil; ia selalu disebut yg pertama dalam urutan murid-murid; ia juga seorang dari ketiga murid yg merupakan kelompok akrabdengan Guru mereka (Markus 5:37; 9:2; 14:33; bnd 13:3). Tindak pelayanannya yg didorong gelora hatinya, sering dilukiskan dalam Alkitab (bnd Matius 14:28; Markus 14:29; Lukas 5:8; Yohanes 21:7), dan dia bertindak sebagai jurubicara dari ke-12 murid itu (Matius 15:15; 18:21; Markus 1:36 dab; 8:29; 9: 5; 10:28; 11:21; 14:29 dab; Lukas 5:5; 12:41).[4]
Akhir hidup Petrus menurut catatan St. Jerome, ia dihukum mati di Roma dengan cara disalib, namun Petrus meminta agar ia disalibkan dengan posisi terbalik karena ia memandang dirinya tidak layak untuk disalibkan dalam posisi yang sama dengan Tuhannya.[5]

MODAL AWAL PETRUS SEBAGAI PEMIMPIN
Bagaimanakah awal Petrus menjadi seorang pemimpin? Paling tidak kita menemukan dalam kisah Alkitab, 3 hal pokok yang menjadi yang menjadi kunci utama[6] pembentukan Petrus sebagai seorang Pemimpin, yakni:
1. Petrus Belajar Melayani
Pada suatu ketika, Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu [Petrus dan Andreas] segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia." (Matius 4:19-20). Tanpa pikir panjang Petrus bersedia meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti Yesus untuk melayani-Nya. Bersama Yesus, Petrus menyaksikan banyak mukjizat yang luar biasa. Petrus tidak hanya berkesempatan menyaksikan pelayanan Yesus, dia bersama murid-muridnya yang lain juga ditunjuk Yesus untuk melayani setiap kota dan tempat yang hendak Yesus kunjungi (Lukas 10:1).
Perjalanan bersama Yesus mengubah kepribadian Petrus secara total. Dia beserta murid-murid Yesus yang lainnya belajar melayani saat diberi kuasa untuk menyembuhkan banyak orang sakit dan menaklukan setan-setan (Lukas 10). Kisah Para Rasul 1-2 menonjolkan kualitas Petrus sebagai pemimpin yang melayani. Petrus dipakai Allah secara luar biasa sehingga dia berani melayani di depan banyak orang. Menariknya lagi, saat menjadi seorang pemimpin, Petrus tidak hanya melayani kaumnya sendiri, dia juga merasa bebas untuk melayani orang-orang bukan Yahudi sesuai dengan visi Allah (Kisah 10).
Petrus mempunyai konsep "kepemimpinan yang melayani". Menurut Eka Damaputra dalam bukunya "Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab", seseorang yang telah teruji sebagai pelayan yang baik adalah orang yang telah terbukti mampu menguasai dan mengendalikan diri sendiri. Hanya orang yang mampu mengendalikan dirinya sendiri yang layak diberikan kepercayaan untuk mengendalikan, memimpin, dan menguasai orang lain.
2. Petrus Belajar Taat
Alkitab mengatakan bahwa murid-murid Yesus, khususnya Petrus, adalah orang-orang yang bersedia untuk belajar (Matius 5:1-2). Petrus, yang dulunya tidak sabaran dan sesumbar, belajar mendengarkan serta menaati Yesus. Eka Damaputra menyebutkan bahwa kepemimpinan diinspirasi oleh rasa takut dan taat akan Tuhan. Inspirasi ini dimiliki Petrus. Petrus adalah orang yang berorientasi kepada Allah dan sungguh-sungguh menaati-Nya. Ketaatannya tampak jelas dalam Lukas 5:5-7.
Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.
Tanggapan Petrus terhadap perintah Allah sungguh mengagumkan. Dia tidak membantah arahan Yesus. Dia tidak mengatakan, "Yesus, ini akan sia-sia saja." Walaupun Petrus tidak mengerti apa maksud dari perintah Yesus, dia tidak mempertanyakan atau meragukan perintah itu, dia hanya menaati-Nya karena dia percaya kepadanya.
Petrus bertindak dengan tepat. Dia membuktikan diri sebagai pengikut Yesus yang baik. Menurut Eka Damaputra, sifat ketaatan seperti ini dibutuhkan oleh setiap pemimpin. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil," kata Yesus, "ia setia juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10)

3. Petrus Berserah kepada Allah
Russel Betz mengatakan bahwa Petrus adalah orang yang mengerti arti "berserah kepada Allah". Pertama-tama, dia siap menyerahkan segalanya untuk mengikuti Yesus. Dalam Matius 19:27, Petrus mengatakan kepada Yesus bahwa dia telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus. Kedua, Petrus menyerahkan kegagalan masa lalunya kepada Allah. Salah satu senjata setan untuk menjatuhkan manusia adalah menyalahkan manusia atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Tidak sedikit korban yang menjadi budak masa lalu, lalu putus asa. Petrus sendiri menorehkan noda hitam ketika menyangkal Yesus sebanyak tiga kali karena ketakutannya. Akan tetapi, alih-alih tenggelam dalam penyesalan seperti Saul dan Yudas, Petrus menyesal, menyerahkan masa lalunya, dan bangkit untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan Allah.
Dia juga berserah kepada panggilan Yesus untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Dia membiarkan Allah memproses segala kekurangan dan kelebihannya untuk kemuliaan-Nya. Dia mengikuti mandat Allah untuk melayani orang banyak (1 Petrus 5:2) serta mengajar mereka untuk menjadi teladan bagi banyak orang (5:2-3).

KEPEMIMPINAN PETRUS SEBAGAI PEMIMPIN
Terdapat kesan yang cukup kuat bahwa sepeninggalan Tuhan Yesus, maka Petrus menjadi pemimpin dari kelompok murid Yesus ini. Hal ini paling tidak terlihat pada Yohanes 21:3, ketika Petrus memutuskan untuk kembali menjadi nelayan, dan merekapun ikut bersamanya sambil berkata: “Kami pergi juga dengan engkau”. Petrus merupakan pemimpin tidak resmi dari para rasul. Sebab seringkali ia menjadi juru bicara. Setelah berpisah dengan Yesus, para murid, terkesan, berharap bahwa Petruslah yang akan mengarahkan mereka. Catatan Lukas mengenai gereja mula-mula, sangat jelas mengesankan tentang kepemimpinan Rasul Petrus.[7]  Sebagai pemimpin, terdapat beberapa hal yang dilakukan Petrus dalam melaksanakan kepemimpinannya, yakni:

1.      Memperlihatkan Masalah Untuk Menemukan Solusinya (Kisah Rasul 1:15-26)
Saat para rasul sedang menantikan Roh Kudus yang dijanjikan Yesus, mereka tiba di kota dan menumpang di sebuah rumah serta berkumpul di ruang atas. Beberapa hari kemudian Petrus melihat bahwa kematian Yudas memberi dampak pada jumlah mereka sebagai saksi tentang siapa Yesus. Yudas dianggap sebagai salah satu anggota dari tim pelayanan tersebut. Bagi Petrus, kematian Yudas akan mempengaruhi kegiatan pelayanan (bd. ay.17). Petrus bukan saja memperlihatkan kepada kelompok itu tentang masalah yang tidak mereka sadari, namun juga mengutarakan bagaimana memecahkan masalah tersebut. Ia meberikan solusi kongkrit pada 120 orang yang mendengarkan informasi itu (ay.15).
Solusi yang ditawarkan Petrus adalah harus ada yang menggantikan Yudas. Tetapi solusi ini belum cukup jika tidak melalui tata cara yang tepat melakukannya. Itulah sebabnya pada ayat 21-22, Petrus menyebut syarat pengganti Yudas, yakni orang itu harus selalu bersama-sama dengan mereka dan melihat serta menyaksikan dengan secara langsung tentang Yesus yang dimulai dari pembaptisan Yohanes sampai kebangkitanNya. Usulan Petrus ini disambut baik oleh mereka dan kemudian melaksanakannya (ay.23-26).
Salah satu fungsi pemimpin adalah menyusun cara dan memberikan arahan tindakan untuk masa depan.[8] Petrus dengan penuh keyakinan memaparkan masalah yang dihadapi sekaligus memberikan arahan tegas dan tepat sasaran tentang bagaimana menyelesaikan permasalahan mereka sepeninggalan Yudas sebagai bagian dari Tim Pelayanan itu.
2.      Menjadi Inisiator dan Inspirator (Kisah Rasul 2:14-40)
Apa yang diperbuat oleh para murid sebelum Roh Kudus dicurahkan? Mereka berkumpul di sebuah ruang atas dan tidak keluar menunjukkan diri di tengah masyarakat. Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena mereka mengalami ketakutan jika dikenali sebagai murid Yesus. Kekuatan dinamis dari karya Roh Kudus kemudian menggerakkan mereka untuk berani tampil di depan banyak orang pada saat hari raya Pentakosta.
Saat banyak orang itu sedang terheran-heran dengan berbagai bahasa yang mereka dengar keluar dari mulut para Rasul, maka Petrus berinisiatif mewakili kelompok duabelas itu dan mulai berbicara, bersaksi dan mengajar tentang Yesus (ay.14). Ia dengan sengaja berdiri untuk menjelaskan olok-olokan orang banyak bahwa mereka sedang mabuk, dengan menimpali bahwa tidak benar kami sedang mabuk (bd. ay.15). Tindakan merupakan inisiatif yang berani Rasul Petrus mengingat kondisi mereka sedang “dicari” sebagai murid Yesus.
Setelah menjawab tudingan itu, Petrus kemudian dengan lugas berkhotbah dan bercerita tentang Yesus yang mereka salibkan itu. Kisah yang dituturkan Petrus mendorong banyak orang, menginspirasi mereka. Mengapa menginspirasi mereka? Hal ini terlihat dari reaksi spontan orang banyak, yang terharu ini, melalui pertanyaan: “apakah yang harus kami perbuat, saudara-saudara?” (ay.37). Petrus berinisiatif untuk memberdayakan kuasa Roh Kudus lewat tampil kedepan untuk mengajar dan dengan itu banyak orang terpukau sehingga menyerahkan diri untuk bertobat. Jumlah mereka berubah drastis. Dari jumla 120org menjadi 3000org.
Orang tidak akan mengikuti pemimpin yang tidak antusias. Orang hanya mengikuti seseorang yang memiliki gairah akan visi yang dimiliki tersebut.[9] Kendatipun dokter Lukas sebagai penulis kitab ini tidak menyebutkan dengan cara apa Petrus berkhotbah, tetapi kita dapat dengan mudah membayangkan bagaimana berapi-apinya isi pidato tersebut. Gairah yang penuh antusias itu memang benar tidak dapat hanya dari Petrus sendiri melainkan melalui kuasa Roh Kudus. Tetapi peran Petrus pun tidak dapat diabaikan. Ia berinisiatif untuk berbicara lebih dulu dan menginspirasi banyak orang. Petrus adalah seorang inisiator dan inspirator.
3.      Melihat dan Menangkap Peluang di Tengah Resiko (Kisah Rasul 3:11-4:22)
Serambi Salomo adalah tempat dimana Petrus mampu melihat peluang menjalankan misinya bagi pemberitaan tentang Yesus. Saat orang banyak terheran-heran dengan mujizat yang Petrus lakukan, yakni menyembuhkan orang lumpuh, ia melihatnya sebagai peluang untuk memberitakan tentang Yesus (3:12 dyb). Kenyataan ini bukan tanpa resiko. Petrus dan Yohanes pun ditangkap oleh pemuka Bait Allah (4:3). Usaha yang beresiko itu menghasilkan sesuatu yang besar, yakni banyak dari mereka yang percaya karena pemberitaan dan pengajaran tersebut (4:4).
Dalam Sidang pun, Petrus dan Yohanes bersedia mengambil resiko dengan tidak berhenti untuk bersaksi (Kisah.4:13).[10] Pemimpin harus berani mengambil resiko di tengah tantangan untuk menyatakan kebenaran. Petrus dan Yohanes mampu melakukannya. Dalam hal sebagai pemimpin, Petrus dapat melihat dan menangkap peluang menjalankan misinya kendatipun dengan resiko dipenjarakan.

KEPEMIMPINAN PETRUS MENGHADAPI KONFLIK (Menjadi Agen Perubahan)
Organisasi manapun yang melibatkan banyak orang, pasti akan mengalami berbagai perbedaan pendapat, di saat menghadapi suatu masalah ketika mencari jalan keluarnya. Jika salah mengambil keputusan, atau salah mengolah konflik itu, maka perpecahan pastilah terjadi. Dalam situasi yang tidak kondusif dikarenakan berbagai perbedaan yang mengarah pada perpecahan, dibutuhkan figur seorang pemimpin yang tegas, dihormati dan mampu memberikan solusi yang tepat tetapi juga benar.
Salah satu pemimpin yang mampu menyelesaikan berbagai perbedaan dan meredam perpecahan adalah Rasul Petrus. Hal ini dengan sangat jelas diceritakan oleh dokter Lukas dalam kitab Kisah Rasul 15:1-21 tentang Sidang di Yerusalem dalam rangka menghadapi perbedaan pendapat di jemaat Antiokhia. Di jemaat ini terjadi perbedaan pendapat di antara mereka ketika beberapa orang menyusup dan mempengaruhi jemaat bahwa warga jemaat non-Yahudi harus disunat agar beroleh keselamatan (ay.1). Diduga bahwa mereka inipun seperti yang disebutkan dalam ayat 5, berasal dari golongan Farisi yang terkenal itu. Sengaja mereka datang dari Yudea ke Antiokhia, untuk mengubah pikiran jemaat di tempat itu, mengenai sesuatu pokok ajaran keselamatan. Pokok ini adalah tentang sunat.
Dari ayat 15-24b, ternyatalah bahwa saudara-saudara ini tidak diberi pesan dan tidak pula diutus dengan resmi oleh induk jemaat di Yerusalem. Mereka telah datang atas inisiatif mereka sendiri, dan ajaran mereka sangat ekstrim.  Hal ini menimbulkan konflik dalam tubuh Kristus. Warga jemaat non-Yahudi mengalami keresahan akibat pernyataan ajaran ini. Sudah pasti timbullah pertentangan dan perselisihan. Sebagai pemimpin umat, Paulus dan Barnabas mempertahankan ajaran yang benar dan membantah pendapat mereka. Akhirnya konflikpun terjadi. Bagaimanakah kemudian Paulus dan Barnabas mengolah konflik itu?
Pertama, Walaupun Paulus menentang dengan keras pandangan keliru ini, namun ia tidak memaksakan pendapatnya kepada jemaat Antiokhia. Ia justru menyetujui usulan jemaat Antiokhia untuk menyelesaikan masalah ini dengan melibatkan pimpinan gereja lainnya yakni para rasul dan penatua jemaat di Yerusalem (ay.2); Kedua, Paulus tidak membiarkan konflik dan ketidaknyamanan itu menguasainya dalam pelayanan. Justru walau masalah belum selesai, ia tetap memberitakan Firman Tuhan kepada banyak orang ketika perjalanan ke Yerusalem. (ay.3). Ketiga, Paulus tetap fokus dalam pelayanan itu dan tidak berusaha mempengarui orang lain untuk mendapat dukungan jemaat Fenisia dan Samaria ketika ia melayani (ay.3) dan Keempat, Hal yang sama juga dilakukan Paulus ketika tiba di Yerusalem di depan para pemimpin gereja waktu itu. Dia tidak mencari dukungan, namun justru lebih mengutamakan kesaksian iman dalam pelayanannya (ay.4).
Akhirnya dalam ayat 5 disebutkan bahwa Paulus dan Barnabas telah tiba di Yerusalem. Selanjutnya digelarlah Sidang di Yerusalem untuk menyelesaikan konflik yang terjadi mengenai perbedaan pendapat dalam hal ajaran keselamatan yang wajib dipenuhi oleh jemaat non-Yahudi lewat sunat dan Taurat itu. Nampaknya topik ini menjadi issue perdebatan yang semakin runcing. Hal ini terlihat dalam ayat 6,7 dan 12 dalam bacaan kita. Karena itu sebagai pemimpin para rasul, Petrus mengambil alih pembicaraan dan menyatakan pendapatnya. Perhatikanlah bagaimana cara Petrus menghadapi perbedaan pendapat tersebut dalam ayat 7-11 bacaan kita.
Pertama, Petrus tidak segera berbicara untuk mengambil keputusan dan menyatakan pendapatnya Ia menghormati pendapat dan hikmat yang ada pada masing2 pemimpin dan umat waktu itu. Itulah sebabnya ay.7 disebutkan mereka mendapatkan kesempatan untuk berbicara.
Kedua, Petrus tidak berdiri sebagai pribadi biasa waktu itu, namun di mengandalkan wibawa rasuli yang dianugerahkan Allah baginya, dengan menyebut pemilihan dan penugasan yang Allah berikan kepadanya (ay.7b). Artinya saat mengambil keputusan untuk menyatakan pendapatnya, Petrus tidak sedang berbicara untuk dirinya sendiri dan kemenangan egonya, melainkan untuk Tuhan dan kebenaran ajaran FirmanNya.
Petrus tampil berdiri dengan penuh wibawa atas otoritas Allah yang diberikan kepadanya (ay.7). Namun wibawa ini dengan sendirinya kehilangan pengaruh apabila Petrus gagal menjadi pribadi yang berintegritas, yakni apa yang ia ucapkan selaras dengan apa yang ia lakukan. Pemimpin yang berintegritas mampu menunjukkan satunya kata dengan perbuatannya, sehingga ia menjadi teladan dan sumber inspirasi organisasi.[11] Pemimpin yang berintegritas mampu untuk menjabarkan tanpa kompromi nilai-nilai dasar tertentu yang ia anut sehingga hasilnya dapat dilihat oleh mereka yang dipimpinnya.[12] Inilah yang dilakukan Petrus. Ditentukannya Ia oleh Tuhan sebagai pembawa berita bagi kaum tak bersunat, diwujudkan dengan pola laku dan perbuatan yang nyata dan tak terbantahkan (band. Ayat 7 dst). Sehingga, apa yang dikatakan dan diarahkan oleh Petrus tidak pula dibantah oleh siapapun yang mendengar perkataan itu.
Ketiga, Pernyataan yang dibuat Petrus tidak serta-merta tanpa pertimbangan. Namun semuanya tersusun rapi sesuai pengalaman iman dan pelayanannya (ay.8-11). Bagi Petrus, ketika ia melayani orang non-Yahudi, Roh Kudus diakruniakan juga bagi mereka yang menerima Kristus. Hal ini adalah pengalaman pelayanan Petrus dalam Kisah Para Rasul 10:1 dst ketika ia diperintahkan TUHAN untuk melayani Kornelius dan seisi rumahnya. Kornelius adalah orang non-Yahudi  yakni warga Romawi dan pemimpin pasuka Italia (10:1) Itu berarti menurutnya, Allah menghendaki keselamatan untuk bangsa lain juga tanpa harus lewat sunat dan taurat. Sehingga lahirlah ajaran bahwa keselamatan datang kepada semua bangsa hanya melalui Yesus Kristus (ay.11) dan bukan oleh hal lain termasuk sunat dan ketetapan Taurat.
Penyataan Petrus ini kemudian menjadi keputusan bulat Sidang Yerusalem yang diterima oleh seluruh peserta sidang dan bahkan didukung oleh Rasul Yakobus lewat legitimasi Firman Tuhan yang merujuk Amos 9:11-12 sebagai landasan keselamatan hadir bagi bangsa-bangsa lain non-Yahudi. Petrus menjadi Agen Perubahan dalam kehidupan komunitas Kristen Yahudi. Bersama Yakobus, Paulus dan Barnabas, mereka mengubah pola pikir Yudaisme kepada Kristosentris dalam hal memahami keselamatan. Para Rasul yang dulunya hanya berpikir tentang Israel sebagai satu-satunya bangsa yang dipilih untuk diselamatkan, kini memahami bahwa keselamatan milik semua orang termasuk kaum tak bersunat.
Petrus menjadi pemimpin yang mampu membawa perubahan. Ia adalah “change agent” bagi mereka yang dipimpinnya dan membawa komunitasnya memiliki perspektif yang baru tentang konsep yang menjadi akar konfik. Hasil akhir adalah, konflik berhasil diredam, perbedaan menemukan jalan baru yakni menapaki bersama kepentingan komunitas itu bagi Tuhan dan sesama manusia.
KEPEMIMPINAN YANG MENGHAMBA VERSI PETRUS (Servant Leadership)
Pelajaran penting tentang menjadi Pemimpin adalah bersedia menjadi pelayan atau dengan prinsip Pemimpin yang melayani. Kepemimpinan yang melayani (Servant Leadership) merupakan suatu tipe atau model kepemimpinan yang dikembangkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh suatu masyarakat atau bangsa. Para pemimpin-pelayan (Servant Leader) mempunyai kecenderungan lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya di atas dirinya. Orientasinya adalah untuk melayani, cara pandangnya holistik dan beroperasi dengan standar moral spiritual.[13]
Petrus adalah seorang pemimpin yang melayani. Hal ini terlihat dalam suratnya kepada orang Kristen Pendatang yang terdapat dalam 1 Petrus 5:1-3. Uraian pada bagian ini memberikan gambaran tentang siapakah Petrus dalam hal menjadi seorang pemimpin. Ia adalah seorang pemimpin-pelayan yang mampu memberi teladan dan mengajarkan orang lain untuk memimpin dengan cara melayani. Berikut ini beberapa hal yang di ajarkan Petrus dalam bacaan tersebut:
1.      Pemimpin Tidak Berada “di atas” (ay.1)
Hal yang menarik adalah ketika para penatua di jemaat-jemaat itu disapa Paulus sebagai “teman”. Paulus menempatkan dirinya sebagai teman penatua. Ia berbicara kepada mereka bukan dari atas, melainkan dari samping, yaitu suatu tempat yang baik untuk melaksanakan kepemimpinan. Ia memperlakukan mereka sebagai orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Juga ia menulis sebagai saksi penderitaan Kristus, yaitu orang yang hatinya telah dimurnikan oleh kegagalannya sendiri, dihancurkan dan ditaklukkan oleh kasih Golgota. Pekerjaan seorang gembala tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa hati seorang gembala.
Dengan menggunakan sapaan seperti ini, Petrus menempatkan diri “turun” dan bukan naik. Ia menjadi seorang yang berhati gembala yakni merangkul dan mengayomi. Pemimpin yang melayani dalah pemimpin yang tidak merasa diri sebagai atasan yang harus tinggi disanjung, melainkan turun merangkul.
2.      Pemimpin Itu Mengabdi (ay.2)
Pemimpin-pelayan yakni mereka yang mengerkjakan kepemimpinan dengan orientasi kerja dalam matrik melayani, akan melakukan segala hal dengan motivasi tulus tanpa berpikir memperoleh keuntungan pribadi. Ini disebut Petrus dengan mengabdikan diri. Petrus tidak melupakan kuasa keserakahan di dalam diri rekannya, Yudas, dan ia ingin agar teman-teman penatua sama sekali tidak tamak. Seorang pemimpin hendaknya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keuangan atau keuntungan yang lain di dalam pelayanan atau keputusan-keputusannya. Jika orang mengetahui bahwa ia benar-benar tidak suka mengejar keuntungan, maka, perkataannya akan lebih berwibawa.
3.      Bukan Memberi Perintah tapi Teladan (ay.3) 
Selanjutnya, Petrus menyebut soal perlawanan antara menghamba dengan memerintah. Bagi Petrus seorang pemimpin yang adalah gembala, yakni memimipin dengan cara melayani, tidak terpuji cara ia melaksanakan tugasnya jika melakukannya atas dasar kuasa otiriter sebagai pemimpin dengan cara memaksa orang yang dipimpin. Kalimat "Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu,...." (ay.3) memberikan penegasan bahwa seorang pemimpin yang ambisius dapat dengan mudah merosot menjadi seorang tiran yang picik dengan sikap mau memerintah. "Bahkan satu kuasa kecil dapat dengan mudah mengubah orang menjadi sombong". Tidak ada satu sikap yang lebih tidak cocok bagi orang yang mengaku menjadi hamba Anak Allah yang merendahkan diri-Nya. Dengan kata lain, memerintah dengan mengandalkan kuasa adalah suatu perbuatan yang tidak layak disandang oleh seorang pemimpin-pelayan.
Jika demikian, bagaimanakah seharusnya? Pada ayat yang sama, Petrus melanjutkan kalimatnya: "Hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu" (ay.3). Ini memberikan penegasan bahwa lawan dari memerintah adalah memberi teladan. Pemimpin-pelayan adalah pribadi yang berada di depan, seperti gembala, untuk memberi teladan. Perbuatan baik dan benar harusnya tidak bisa diperintahkan untuk dilakukan, itu hanya mungkin jika ditunjukkan dengan perbuatan untuk diteladani.

P E N U T U P
Bagaimanapun tidak mudah menjadi seorang pemimpin apalagi pemimpin dalam gereja Tuhan. Sikap dan perbuatan adalah modal kuat untuk mengejah wantakan kasih Kristus sebagai sumber anugerah kepemimpinan itu. Hati yang penuh kasih, kemampuan mengolah konflik batin adalah mutlak diperlukan untuk menyebut seorang pemimpin adalah cerdas secara emosional.
Pada akhirnya kekuatan spiritual yang mumpuni yang ditandai dengan hidup yang intim dengan seorang Pemimpin/Gembala AGUNG mutlak dibutuhkan. Hanya mereka yang memiliki keuatan spiritual yang prima-lah yang mampu secara baik menjadi leader yang tidak hanya bijak, bukan saja mumpuni memberi solusi, namun mampu membawa organisasi yang dipimpinnya mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
------ __ -----

KEPUSTAKAAN

BUKU:

Alkitab, Jakarta: LAI, 2006
Boa, Kenneth dkk, Kepemimpinan Ilahi dalam Rupa Insani, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih-YKBK, 2007
Packer, J. I. Ensiklopedia Fakta Alkitab IIMalang: Gandum Mas, 2001
Sloane, Paul, The Innovative Leader, Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007
W. I. M. Poli, Kepemimpinan Stratejik – Pelajaran dari Yunani Kuno hingga Bangladesh, Makassar, Identitas Universitas Hasanuddin, 2011
Wiyono, F.X.G. Isbagyo, The Innovative Leader, Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007

ONLINE SOURCE:
http://cintaimabar.blogspot.co.id/p/kepemimpinan-yang-melayani-servant.html


[1] Nama asli Petrus ialah nama Ibrani 'Simeon' (seyogianya demikian dlm Kisah 15:14; 2 Petrus 1:1, tapi dalam LAI-TB semuanya menjadi 'Simon'); barangkali, seperti banyak orang Yahudi dipakainya juga nama 'Simon', hal yg biasa dalam PB sebagai nama Yunani yg bunyinya sama. Lih: Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih-YKBK, 2007), hlm. 255. Simeon atau Simon berarti “mendengar”. Lih. Ibid, hlm 405.

[2] Nama Kefas adalah nama yang diberikan oleh Yesus pada saat mengangkatnya sebagai murid. Dalam bahasa Aram berarti Batu Karang atau Petrus (Yoh.1:41).

[3] J. I. Packer. Ensiklopedia Fakta Alkitab II(Malang:Gandum Mas, 2001) hlm. 1105
[4] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih-YKBK, 2007), hlm. 256-257

[5] http://www.sarapanpagi.org/petrus-vt4233.html --- diakses pada tanggal 28 Desember 2015.

[6] http://lead.sabda.org/kunci_kepemimpinan_petrus di akses pada tanggal 30 Des 2015. Petrus belajar melayani, taat dan menyerahkan hidupnya dalam pimpinan Allah. Maxwell mencatat bahwa dia adalah pemain yang paling berkembang dan pemimpin yang berubah 180 derajat. Allah mengubah hidup Petrus dan memakainya sebagai salah satu pemimpin yang berhasil mengubah dunia.

[7] Kenneth Boa, dkk, Kepemimpinan Ilahi dalam Rupa Insani, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), hlm. 512.
[8] Kemampuan untuk memberikan arahan tindakan kemasa depan ini digambarkan sebagai misi, tujuan inti, atau visi. Lih. Paul Sloane, The Innovative Leader, (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007), hlm. 1

[9] Ibid, hlm. 37-38

[10] Hal yang perlu dicatat adalah bahwa orang-orang yang mengamati kisah Petrus dan Yohanes melihat keberanian mereka. Sebagai pemimpin gereja mula-mula, mereka berani bersaksi, menyatakan tentang Yesus, bahkan menghadapi perlawanan yang keras. Lih. Paul Sloane, The Innovative Leader, (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007), hlm. 349.
[11] W. I. M. Poli, Kepemimpinan Stratejik – Pelajaran dari Yunani Kuno hingga Bangladesh, (Makassar, Identitas Universitas Hasanuddin, 2011), hlm. 23

[12] Kenyataan tak bisa dipungkiri bahwa Petrus pernah gagal menjadi contoh dan teladan dari perkataannya itu. Hal ini terlihat dalam Galatia 2:11-14 ketika Petrus dan Paulus pernah berkonflik secara terbuka. Awalnya, Petrus membuka diri dengan kaum tak bersunat dan bahkan makan bersama mereka sehidangan dengan para orang percaya non Yahudi. Namun, ketika kelompok Yahudi datang, yaitu golongan Yakobus, Petrus kemudian berubah sikap dan meninggalkan kelompok tak bersunat itu supaya ia tidak dihakimi oleh kaum bersunat. Inilah yang mengecewakan Paulus. Ia mempertanyakan Petrus dan pendirian imannya sehubungan dengan keselamatan untuk kaum yang tak bersunat pula. Petrus menjadi “munafik” dan mengamankan diri sendir. Itu adalah kekejian menurut Paulus.
[13] Kepemimpinan yang melayani memiliki kelebihan karena hubungan antara pemimpin (leader) dengan pengikut (followers) berorientasi pada sifat melayani dengan standar moral spiritual. Selanjutnya ciri-ciri tentang Pemimpin Yang Melayani dapat dilihat pada: http://cintaimabar.blogspot.co.id/p/kepemimpinan-yang-melayani-servant.html yang di akses 30 Des 2015.

No comments:

Post a Comment